Kado untuk Cak Nun

kado untuk cak nun

Beberapa minggu lalu, saya diminta oleh seseorang berkontribusi dalam penulisan buku, yang kalau tidak salah untuk memperingati ulang tahun Cak Nun ke-72. Tapi karena tenggatnya terlalu mepet, dan saya kebetulan sedang ada banyak sekali urusan, saya tidak bisa memenuhi permintaan tersebut. Sebagai anggaplah ‘kontribusi’ atau penebusannya, video ini saya persembahkan khusus untuk Cak Nun.

Sulit bagi orang seperti saya untuk melepaskan diri dari pengaruh banyak intelektual di Indonesia. Salah satunya tentu saja Cak Nun. Sejak akhir SMP sampai mungkin awal kuliah—kurang-lebih 5 tahunan, saya betul-betul mengejar dan berusaha membaca semua buku-buku Cak Nun. Hingga tentu saja saya berada di tahap membaca karya banyak tokoh lain.

Saya kira, susah mencari perbandingan tokoh kita ini, sebab beliau menguasai banyak hal. Dari sisi kenakalan dan kekritisannya dalam berpikir, saya kira beliaulah yang paling ‘nakal’. Maka wajar kalau disematkan kepadanya julukan ‘Kiai Mbeling’.

Dari sisi berkesenian, beliau ini penyair. Dari sisi musikalitas: suaranya merdu dan punya karakter tersendiri. Cak Nun juga kaya dalam bidang drama. Soal produktivitas, kuantitas esai-esainya mungkin hanya bisa diadu oleh esais lain: Goenawan Mohamad.

Percuma saya mencoba mengulik Cak Nun dari berbagai dimensi karena terlalu kaya. Saya hanya sedikit mau fokus saja ke satu hal, itu pun tidak mungkin komplet yaitu Forum Maiyah.

Jika saya sebut Forum Maiyah itu, berarti ya ada Forum Padang Mbulan di Jombang, Kenduri Cinta di Jakarta, Bangbang Wetan di Surabaya, Mocopat Syafaat, dll. Di banyak kota. Intinya, di situ ada Cak Nun atau forum-forum senapas dengan itu yang diinisiasi oleh Cak Nun maupun muhibin beliau.

Maiyah itu forum yang unik. Cak Nun jarang menjadi pembicara tunggal. Beliau memang bintang panggungnya dan daya tarik orang mau datang, tapi selalu memberi kesempatan kepada orang lain untuk ikut berbicara dan menyampaikan pendapat.

Kedua, suasananya cair dan rileks walaupun temanya berat. Cak Nun, seperti di tulisan-tulisannya, dalam forum maiyah pun sebetulnya membicarakan tema yang tidak ringan. Tapi selalu bisa disampaikan dengan rileks, ringan, banyak bercanda, sehingga tema-tema berat itu terasa ringan.

Ketiga: Tahan lama. Ini yang juga luar biasa. Berpuluh, berartus bahkan mungkin beribu kali, Cak Nun bisa duduk, bicara, mendengar, menyanyi, antara 5 sd 7 jam! Itu daya tahan yang luarbiasa, baik secara fisik maupun pikiran. Dan yang luarbiasa, ribuan orang juga bisa duduk, diam, mendengarkan. Seolah mereka semua bukan hanya tersedot konsentrasinya, tapi serasa ‘terlibat’.

Keempat: Tidak berjarak. Ciri panggung maiyah, juga unik. Karena jarak antara Cak Nun di panggung, yang biasanya dibarengi dengan kelompok Kiai Kanjeng, tidak jauh dari penonton, dan dengan panggung yang tidak tinggi. Begitu terasa dekat dan hangat.

Kelima: Diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari remaja sampai orangtua. Laki-laki dan perempuan. Dan semuanya merasa nyaman, tidak ada yang terancam. Entah itu sandalnya ilang atau ynag semacam itu. Bahkan bisa saling berbagi. Entah itu berbagi rokok maupun minuman. Bahkan dalam durasi yang panjang itu, mungkin jarang sekali orang yang pergi sejenak untuk kencing. Daya tahan peserta maiyah itu luar biasa. Mereka seolah tidak mau beringsut.

Kini, Cak Nun sedang dalam sebuah ‘tirakat’ yang panjang. Tapi forum-forum itu tetap ramai. Seolah ada energi Cak Nun yang terus berdenyut di sana.

Hal serupa memang sekarang ini cukup ramai. Sekalipun tidak sama persis, ada forum pengajian Gus Iqdam. Ada juga pengajian Gus Kautsar. Di Yogya ada Dr Fahrudin Faiz. Yang jika saya lihat sekeliling saya entah kenapa, banyak sekali irisannnya. Kalau ada orang yang merupakan jamaah Maiyah, biasanya suka dengan Gus Iqdam dan Gus Kautsar. Biasanya mengikuti Ngaji Filsafat yang diampu oleh Pak Fahruddin Faiz. Saya tidak tahu kalau di tempat lain. Tapi begitulah di komunitas saya.

Bahkan ketika muncul sosok fenomenal dari dunia politik seperti Pak Bambang Pacul, kebanyakan mereka ini juga menyukai Pak Pacul.

Saya tidak tahu apa yang mempersatukan mereka. Seolah ada tali batin yang menghubungkan satu sama lain. Bahkan ada yang lucu, beberapa orang sempat menyebut diri mereka sebagai ‘korea-korea maiyah’. Istilah yang mencoba memadupadankan antara fans Pak Pacul yang disebut ‘para korea’ dengan para fans Maiyah.

Pertanyaannya: jenis atau kelompok seperti apakah mereka ini? Yang begitu sayang pada Cak Nun, para garangan yang disebut oleh Gus Iqdam, para bolo yang merupakan fans Gus Kautsar, para pengikut Ngaji Filsafatnya Pak Fahrudin Faiz, dan para korea ini?

Saya meminjam istilah yang saya dari Cak Nun: mereka inilah anak-anak yang ‘diyatimkan’ oleh zaman. Artinya tidak punya previlese dan sering diabaikan kehadirannya oleh pihak pemerintah. Mereka mencari-cari sendiri, mengais-ngais sendiri, baik rezeki maupun ilmu pengetahuan. Merekalah anak-anak yang ‘diemong’ oleh Cak Nun dan jamaah maiyah lain. Merekalah yang dipijiti hatinya oleh Cak Nun agar terus punya harapan dan agar terus bergembira dalam hidup ini. Merekalah yang dimaksud sebagai ‘orang biasa’ dalam tagline mojok: suara orang biasa. Bukan orang-orang yang istimewa. Bukan orang-orang yang bergelimang fasilitas dan masa depan yang jelas. Tapi sadar untuk terus belajar, menempa diri, senang masuk dalam lingkaran majelis.

Dan entah kenapa pula, setiap tokoh yang saya sebut, saling terhubung dengan cara yang unik. Dalam salah satu kajiannya, Gus Kautsar pernah bilang kalau timeline-nya entah kenapa dipenuhi oleh penggalan-penggalan video Pak Pacul. Dan Pak Pacul mengakui kalau sedang punya waktu luang menyimak Cak Nun di berbagai Forum Maiyah, dan menyimak Ngaji Filsafat Pak Fahruddin Faiz.

Semoga, ada makin banyak orang yang ikut menemani anak-anak zaman seperti ini. Karena merekalah pemilik masa depan negeri ini.

Cak Nun, terimalah kado sederhana ini, yang dipersembahkan dengan seluruh kerendahan hati.

Salam orang biasa 🙏

Artikel Terkait