Sebagai mahasiswa fakultas Filsafat UGM, Unggun nyaris tak mudah dikenali. Dia ada pada level di bawah rata-rata. Suaranya cempreng, kecerdasannya pas-pasan, dan seleranya dalam banyak hal cenderung memalukan.
Saya kasih contoh sederhana, semoga perut Anda tidak mual. Pernah satu kali Unggun ingin merayu cewek yang biasa berseliweran di samping jalan fakultas Filsafat. Kebanyakan perempuan di situ pasti cantik, karena jalan itu dilewati anak fakultas Psikologi, Sastra, dan Ekonomi.
Dia sambil sandaran di tembok, mukanya yang mirip separuh tukang copet, separuh lagi dukun, kemudian menggoda rombongan cewek yang lewat. “Dik, nanti malam tidur di mana? Tidur kosku yuk, Dik. Wis tah enak-enak… Percaya karo aku.”
Tentu banyak perempuan yang jijik mendengar kalimat seperti itu. Ada yang mempercepat langkah mereka, ada yang mbesengut, tapi tak jarang ada yang balik misuh kepada Unggun. “Mas, rupamu kaya kakus ngono kok, enak piye. Ha ya mambuuuu!” seru salah satu perempuan.
Kepribadian macam itu tentu saja merusak perbawa teman-temannya. Jimmy, salah satu sahabat Unggun akhirnya mampu menyadarkan Unggun agar mengakhiri kebiasaan tak senonoh dan cenderung bodoh itu.
Unggun seorang peminum yang baik. Dia juru racik yang baik dan selalu bisa mengantisipasi bagaimana jika dia dan kawan-kawannya kekurangan dana untuk minum alkohol.
Suatu malam, Unggun dan teman-temannya mabuk di kampus seperti biasanya. Lalu dia keluar naik sepeda motor boncengan bertiga dengan dua kawannya yang lain. Sebut saja: Akbar dan Anton. Mereka bertiga mabuk berat. Akbar, dikenal sebagai jago berkelahi. Bahkan punya kecenderungan suka berkelahi, dan hampir bisa dibilang sering menang.
Mungkin karena merasa memboncengkan seorang jagoan, Unggun menyetir mobil dengan cenanangan. Dari fakultas Filsafat, lurus, belok kiri arah IKIP (Sekarang UNY), lalu belok ke kiri lagi. Saat itu mungkin pukul 01.00 dinihari. Jalanan Yogya masih lumayan sepi. Termasuk jalan Gejayan yang dilewati ketiga orang ini.
Tanpa diduga teman-temannya yang membonceng, tiba-tiba Unggun ngepot sebuah mobil. Sambil teriak-teriak nantangi mobil itu. Di luar dugaan, mobil itu mengejar. Sampai Mirota Kampus, mobil itu berhasil menyalip dan menghentikan Unggun dkk. Unggun juga merasa tidak takut. Selain kepala sudah penuh dengan efek alkohol, dia merasa ada Akbar di sampingnya. Dari dalam mobil itu, keluar lima laki-laki. Kalau kata Unggun sih, badan mereka kekar. Mungkin aparat. Tapi saya dan banyak temannya tak percaya. Itu upaya mendramatisir saja.
Perkelahian tak dapat dihindari. Dan hasilnya mudah ditebak. Tiga orang mabuk melawan lima orang. Dalam waktu singkat, Unggun, Akbar, dan Anton, sudah gelangsaran di pinggir jalan.
Kelima laki-laki itu lalu belok ke arah selokan. Akbar kemudian menghidupkan sepeda motor dan meminta Unggun serta Anton diminta membonceng.
“Kita mau ngapain, Bar?” tanya Unggun sambil membonceng.
“Kita kejar mereka!”
“Lha kan kita sudah positif kalah?” Tapi pertanyaan Unggun tak digubrik Akbar. Dia melarikan motor dengan kencang. Mobil musuh disalip di depan SGPC. Akbar langsung menendang mobil itu. Kembali terjadi perkelahian. Lagi-lagi tentu saja tidak imbang. Muka mereka bonyok parah. Ketiga orang itu ditinggal kelima musuh mereka dalam kondisi menyedihkan di pinggir jalan.
Setelah beberapa saat mulai sadar diri, ketiganya lalu naik sepeda motor menuju fakultas Filsafat.
Eh, persis di belokan selokan lembah UGM, mobil itu berhenti di pinggir jalan.
“Bar, itu mobil musuh kita…” bisik Unggun sambil menahan sakit. Tulang-tulangnya terasa remuk. Darah membasahi wajahnya.
“Lho, mereka nantangin kita?” tanya Akbar, yang bukannya menghentikan motor, malah memacu lebih cepat.
“Bar! Sudah, Bar! Kita kalah! Teriak Unggun. Sementara Anton sudah lempe-lempe tak bisa melakukan apapun.
“Kita lawan, Nggun!”
“Gigiku sudah copot dua, Bar!”
“Kita copot gigi mereka juga!”
Benar, mobil yang sepertinya sedang menunggu mereka itu ditabrak Akbar dari belakang. Perkelahian terjadi lagi. Tapi kali ini lebih tepatnya penyiksaan. Anton sudah tidak kuat apa-apa. Dia langsung terjatuh. Unggun masih sempat mau membantu Akbar, tapi sekali ditendang musuhnya, dia ambruk. Tinggal musuhnya yang nggebuki. Hanya Akbar yang masih memberikan sedikit perlawanan.
Malam kemudian hening.
Menjelang Subuh, Unggun tersadarkan diri. Dia dibuang di lembah UGM bersama Akbar dan Anton. Juga sepeda motor yang mereka kendarai.
Unggun akhirnya merangkak menyadarkan Akbar dan Anton. Akbar lalu duduk, tak lama kemudian bertanya, “Nggun, kok kita di sini? Kan semalam kita mabuk di kampus…”
Unggun jengkel sekali. Akhirnya dia menjawab, “Iya, ya. Kok bisa? Ini gigiku kenapa rontok tiga ya, Bar?”
Akbar menoleh ke arah Unggun. Unggun menjembengkan mulutnya, memperlihatkan giginya yang copot tiga dengan muka babak belur penuh darah.
Menyaksian itu semua, Akbar langsung bangkit. “Nggun, siapa yang berani-beraninya mukulin kamu? Ayo kita cari orangnyaaaa!”
Unggun langsung berteriak keras. “Eeeee embooooooh, Baaaaaar!”