Kali besok ujian bahasa Jawa. Malam ini dia belajar keras bersama ibunya. Saya sengaja membiarkan dan hanya mau menjawab dalam situasi mereka berdua sedang kepepet. Saya berharap ibunya juga belajar bahasa Jawa.
Tapi mendengar mereka membaca buku soal bahasa Jawa, mau tak mau membuat saya geleng-geleng kepala. Seandainya saya menuntut terlalu tinggi tentang bagaimana sekolah mesti mencerdaskan anak bangsa, saya pasti sudah protes keras. Untunglah, di hati saya terselip pengertian bahwa fungsi sekolah zaman sekarang adalah membuat seorang anak punya teman dan tidak kesepian.
Saya kasih contoh soal:
Kewan apa sing isa mabur?
A. Wedhus
B. Gajah
C. Manuk
Saya jengkel sekali dengan jenis pertanyaan seperti itu. Tapi saya berjanji tak boleh jengkel dengan institusi sekolah. “Pak, wedhus itu apa sih?” tanya Kali.
“Kambing.”
“Kalau manuk?”
“Burung.”
Saya tiba-tiba merasa miris. Anak saya, berumur 6 tahun, tinggal di Yogya, bapaknya orang Sale yang ndesa pol itu, tidak tahu bahasa Jawa kambing dan burung.
“Lumbuk iku wernane titik titik…” saya mendengar Diajeng membacakan sebuah kalimat pertanyaan.
Lumbuk?
Saya melihat soal sepintas. “Lombok. Bukan: lumbuk.”
“Lombok itu apa, Pak?” suara jujur Kali kembali memecah keheningan.
“Cabe, Nak.”
“Lha ini kok warnanya benar semua?”
Saya melihat pilihan warnanya:
A. Kuning.
B. Hijau
C. Merah
“Kan benar semua, Pak?”
Saya cuma diam.
“Bapak kalau enggak percaya, coba lihat cabe di dapur!”
Saya mengangguk sambil masih dongkol. Tentu tidak dongkol dengan Kali. Lalu mengirim wasap ke Nody dan Adit: “Ayo ngopi, Cuuuk!”