Setiap musim belalang, Ibu selalu mengirimi saya belalang goreng. Kadang di paket itu ada bonus lain, misalnya kopi lelet, kopi yang bisa dipakai melukis rokok. Kadang seperti yang tertera di foto ini: udang kali, dan beberapa jenis ikan kali lain seperti wader dan kotes.
Tapi kiriman intinya jelas: belalang goreng. Ibu saya penggemar berat penganan yang di salah satu acara kuliner di televisi disebut sebagai “kuliner ekstrem”. Apanya yang ekstrem? Lha di semua wilayah yang ada hutan jati, belalang dimakan ya biasa…
Ibu mengirimi saya selain sebagai tanda cinta dan perhatian, juga dia tahu, tak mudah bagi saya untuk mendapatkan penganan ini. Mungkin saya harus ke Gunung Kidul dulu. Itu pun belum tentu dimasak sesuai dengan selera saya.
Sudah tentu sebagai seorang suami dan bapak, saya juga ingin menularkan lezatnya belalang goreng ini kepada istri saya dan anak saya. Tapi sampai usia pernikahan hampir 6 tahun, Istri tak juga bisa makan belalang. Dia bergidik setiap kali saya beri. Kali, anak laki-laki saya, yang di musim belalang tahun lalu belum boleh makan penganan seperti ini karena faktor usia, kemarin saya tawari. Alih-alih dia mau, malah langsung lari menjauh sambil menjerit.
Tapi saya tidak kapok. Pagi tadi, saya kembali menawarinya belalang goreng. Kali ini, dia tidak lari. Lalu sibuk bertanya, “Mana mulut belalang, Pak?”
Saya tunjukkan kepadanya letak mulut belalang.
“Mana kakinya, Pak?”
Saya tunjukkan lagi kaki belalang.
“Belalang kan bisa terbang. Mana sayapnya?”
Lalu saya jelaskan kenapa belalang goreng sudah tak punya sayap lagi.
“Belalang punya gigi atau enggak?”
Saya diam. Masih mikir.
“Giginya ada berapa?”
Saya diam.
“Kenapa kaki belalang ada di situ?”
Saya diam. Sebelum Kali bertanya lagi, saya masukkan seekor belalang goreng ke mulut saya. Saya nikmati kelezatannya. Tak mau mikir pertanyaan-pertanyaan Kali.