Kemarin Kali pergi ke sekolah untuk pertama kalinya. Padahal masih besok Mei, usianya ganjil tiga tahun. Saya tidak begitu gembira.
Sebagai orangtua, saya punya pemikiran ideal tentang pendidikan. Saya ingin Kali banyak bermain dengan teman-teman kampung sebayanya. Tapi “kampung” adalah sebuah kemewahan bagi saya sekeluarga. Secara ekonomi saya hanya sanggup tinggal di sebuah perumahan. Itu pun sudah sangat saya syukuri. Lain waktu, semoga bisa saya kisahkan betapa mahalnya kampung bagi kebanyakan kelas menengah di Indonesia yang tinggal di kota.
Di perumahan ini, Kali hanya punya beberapa teman. Teman sebayanya hanya ada tiga anak. Dua teman sebayanya jarang sekali berada di rumah karena sering ikut berpergian orangtua mereka. Sedangkan satu lagi temannya sudah sekolah.
Walhasil, hari-hari Kali adalah hari-hari tanpa teman sebaya. Hal itu cukup meresahkan hati saya dan istri saya. Tentu saja anak seusia Kali harus pelan-pelan belajar berinteraksi dengan teman sebayanya. Belajar berbagi, bertenggang rasa, bermain bersama.
Saya pribadi punya pandangan yang tidak baik dengan sekolah formal. Mungkin karena pengalaman pribadi. Saya tentu saja penganut mazab “Sekolah Itu Candu” ala Roem Topatimasang. Pengennya sih kalau bisa ya mengembalikan khitah sekolah sebagai waktu luang untuk bermain dan belajar. Biar kelak Kali memilih sendiri mau belajar apa.
Saya membayangkan Kali hidup di sebuah kampung yang ideal. Kalau dia mau belajar menyanyi dan main musik, tinggal belajar di rumah Mbak Sinden dan Pakde Pengrawit. Kalau mau belajar pencak silat yang langsung ke rumah Pak Merpati atau Paklik Bangau. Ketika dia ingin belajar membaca kitab ya nyantrik di Nyai Hajar atau Mbah Yai, kalau mau belajar senirupa ya segera lari dengan gembira ke rumah Lik Sungging atau Mbokde Canting.
Selebihnya dia bersama teman-temannya akan langsung belajar dari alam bagaimana menangkap ikan, menjebak burung, bikin mobil-mobilan dari jantung pisang. Betapa ndeso dan agrarisnya pemikiran saya. Betapa romantisnya. Terlalu terperangkap masa lalu. Orangtua yang tidak maju. Orangtua yang egois hanya karena punya pengalaman yang tidak membahagiakan tentang sekolah lalu pengen anaknya tidak usah sekolah.
Tapi itu semua adalah antologi muskil. Pada kenyataannya saya berada di sini, di sebuah perumahan yang sebagian rumah-rumah dalam keadaan kosong karena dibeli sebagai bagian dari produk investasi. Sedangkan yang benar-benar terisi adalah orang-orang supersibuk. Sesekali kami bertegur sapa. Mereka orang-orang baik, hanya saja sibuk sekali. Mungkin saya di mata mereka juga sama: sibuk sekali.
Tentu saya juga menyadari bahwa zaman Kali berbeda dengan saya. Sebagai orangtua, saya tidak boleh egois. Dia butuh sekolah sebab tanpa itu, Kali bisa tidak punya masa depan. Lha alasan itu juga yang dulu membuat orangtua saya menyekolahkan saya. Dan sebetulnya apa sih yang disebut “masa depan” itu? Ah sudahlah, jangan ke sana, nanti agak rumit obrolan kita…
Tapi baiklah… Apapun itu, suka atau tidak, sepakat atau tidak, saya dan istri saya setelah melalui sekian rentetan diskusi yang serius dan ujicoba ke beberapa sekolah, dengan berat hati kami memutuskan: Kali harus sekolah sekalipun usianya belum ganjil tiga tahun. Dia butuh teman. Dia harus belajar hidup bersama orang lain yang bukan keluarga intinya. Kali sebaiknya bermain dan bertemu dengan anak-anak sebayanya. Dia tidak boleh terasing dan terkucil.
Dan itu semua hanya bisa dia dapatkan di sesuatu yang namanya: sekolah. Bukan kampung. Warbyasah kehidupan saya…
Semoga kamu baik-baik saja, Nak…