Dalam beberapa hal, Pak Ahok serupa dengan Bu Risma. Dengan segala hormat kepada mereka berdua, saya berbeda pendapat untuk persoalan Kalijodo dan Dolly.
Pelacuran bukan barang baru di peradaban manusia. Persoalannya kompleks. Bukan sekadar dosa. Mudah saja kalau itu persoalan dosa, tanyalah kepada semua pelacur, apakah mereka menginginkan pekerjaan tersebut?
Karena persoalannya kompleks, maka cara pandang dan penyelesaiannya tidak mudah. Sebetulnya dengan adanya “kompleks pelacuran” sudah merupakan tahapan maju untuk menyelesaikan sebagian persoalan. Para pelacur bisa diidentifikasi, pergerakan mereka dibatasi, sehingga segala imbas bisa lebih bisa diantisipasi dan dikontrol.
Ada beberapa filosofi memerintah. Salah satunya, kalau seorang pemimpin tidak bisa menghindari kemunculan dan mudaratnya, maka: legalkan. Dengan dilegalkan, segalanya lebih bisa dilihat, diatur, dan dikontrol. Sebab barang yang “gelap” (tidak dilegalkan), lebih tidak bisa dilihat dan karena itu makin susah dikontrol. Dilegalkan dalam hal ini bukan berarti Anda harus sepakat bahwa itu halal. Ini metode. Bukan nilai.
Sebagai contoh pendamping, sekalipun tidak sama persis, adalah soal ganja. Kita semua tiap saat disuguhi pembakaran berhektar-hektar ladang ganja di Sumatra, dari Aceh sampai Lampung. Kalau mau jujur, kita tiap saat tahu ganja beredar di mana-mana. Artinya, sejauh ini, persoalan ganja belum bisa diselesaikan oleh aparat. Belum lagi, malah dijadikan permainan oleh aparat itu sendiri.
Maka legalkan saja. Dengan dilegalkan semua akan muncul ke permukaan. Lalu tertibkan. Misalnya, hanya bisa dijual di tempat tertentu dengan kondisi dan syarat tertentu. Bikin juga studi-studi manfaat ganja (untuk poin ini sebetulnya sudah dimulai). Maka penyelesaiannya terstruktur: bisa diawasi, bisa dikontrol peredaran dan imbasnya, bisa diteliti kegunaannya, dan sekalipun bukan tujuan utama: pemerintah bisa mendapatkan uang dari cukai ganja.
Bagaimana kok bisa barang yang dilegalkan selalu mudah diawasi? Kasus yang saya jadikan contoh ada dua. Lihat saja begitu bir susah didapat di berbagai tempat, maka makin banyak bermunculan minuman beralkohol yang beredar secara gelap. Termasuk kalau mau lebih dalam melihat makin banyak oplosan yang mematikan, karena alkohol yang legal makin susah dan makin mahal. Memangnya hanya orang kaya saja yang punya persoalan hidup? Orang miskin juga.Begitu juga dengan ketika cukai rokok dinaikkan, peredaran rokok ilegal menjadi sangat marak.
Saya tidak sedang berpendapat bahwa minuman dan rokok gelap itu lebih buruk dibanding yang legal. Tapi saya mau mencontohkan segala yang ditekan, direpresi, dalam banyak hal, bukan berarti terus menghilang. Malah tambah memunculkan peluang-peluang baru di pasar gelap. Dan yang beredar di kegelapan tidak bisa dikontrol. Contohnya ya minuman oplosan itu.
Balik lagi ke soal Kalijodo. Sebaiknya Pak Ahok bisa belajar dari “kekacauan” yang terjadi pasca-pembubaran Dolly. Benar, secara kasatmata Dolly sudah “tertib” dan “bersih” (bukankah begitu memang paradigma Pemerintah sejak dulu, belum berubah cara mereka memandang masyatakat dan persoalan mereka). Pertanyaan selanjutnya ke mana mereka? Ke mana para penghuni Dolly? Benarkan menjadi penjahit sebagaimana yang diidealkan Bu Risma?
Itulah persoalannya. Mereka justru bertebaran di banyak tempat, baik di Surabaya maupun di kota-kota lain. Akibatnya makin sulit dideteksi dan dikontrol. Dan sialnya, menurut penelitian teman saya yang bekerja di Komisi Penanggulangan Aids Indonesia (KPAI), prevalensi HIV/AIDS di Jatim meningkat setelah Dolly buyar.
Hal seperti ini yang kita harus hati-hati. Bisa jadi maksud Bu Risma dan Pak Ahok baik, tapi tidak mempertimbangkan hal dengan saksama, sehingga dampak dan mudaratnya jauh lebih buruk dan lebih besar.
Kalau para pelacur berada di kompleks pelacuran, secara reguler kesehatan mereka bisa dicek, mereka juga bisa diidentifikasi saat keluar dan masuk, bahkan para pelanggan pun kalau mau bisa diidentifikasi. Kekerasan terhadap pelacur baik secara fisik maupun psikologis juga bisa ditekan. Target kampanye kesehatan maupun ekonomi bisa lebih spesifik. Tapi yang paling penting, pergerakan mereka bisa dibatasi, sehingga dampak terbesar dalam konteks ini misalnya persebaran HIV/AIDS bisa diantisipasi dengan lebih baik.
Pertanyaan selanjutnya, ini menjadi pelengkap saja, apakah benar pelacuran di Surabaya secara khusus menghilang? O ya? Atau, Kalijodo hanyalah tinggal satu-satunya kompleks pelacuran yang “legal”, tapi apakah benar pelacuran di Jakarta hanya ada di Kalijodo? Bukankah pelacuran makin marak, terlebih dengan banyak dibantu oleh sistem komunikasi yang lebih canggih?
Ridwan Saidi, budayawan Betawi membuat pertanyaan penting. Kalau orang-orang kaya Jakarta mudah mendapatkan pelacur kelas atas dan hiburan, dengan segala akses dan uang yang mereka miliki, maka bagaimana dengan kelas bawah? Kalijodo adalah bagian dari “hiburan” kelas bawah. Pertanyaan serupa juga sebetulnya bisa dipertanyakan untuk Dolly. Tentu kata “hiburan” mesti kita kerangkai dalam konteks yang tepat di tulisan ini.
Di atas semua itu, saya hanya mau mengingatkan ke para pemimpin. Jika Anda tidak yakin bisa menghapuskan sesuatu yang Anda anggap “jahat” dan “buruk”, maka jangan main bubarkan begitu saja. Sebab itu artinya, sebetulnya Anda tidak sedang menyelesaikan masalah tersebut, melainkan malah membuat masalah itu makin berat dan rumit.
Pak Ahok dan Bu Risma, kita sedang hidup di dunia. Bukan di surga. Karena hidup di dunia, maka persoalannya lebih pada menimbang manfaat dan mudarat, juga pada metode dan cara. Bukan soal suka atau tidak, dosa atau tidak.
Saya kira dalam hal ini, Pak Soetan Bhatoegana punya istilah yang pas: ngeri-ngeri sedap. Ya. Hidup ini memang ngeri-ngeri sedap. Bukan melulu sedap.