Disebabkan tidak diaruhke oleh Pak Butet dan Andy Eswe waktu mereka nyate tadi siang, maka saya bertekad makan malam dengan sate juga. Tentu jelas tujuan saya: Sate Gardu PLN Jakal. Mak plekenyik, sampe sana satenya habis.
Tentu saja sebagai bagian dari insan pantang berputus asa, saya muter-muter seputar Jakal. Lalu saya ingat, di dekat rumah saya, di ruas Jalan Damai, baru dibuka warung sate klatak. Vespa-biru-malam segera meluncur ke sana.
Usai parkir makgreg, saya sendakep. Membaca tulisan warung itu: Sate Pangestu Cabang Imogiri Timur. Imogiri Timur saya ndak tahu, apalagi Pangestu. Segala hal yang pakai cabang-cabangan saya juga gak percaya. Warung makan kok nggak pede.
Tak mau dibilang orang aneh, saya langsung masuk saja. Pesan sate klatak seporsi, tongseng kepala satu porsi juga, dan sepiring nasi. Minumnya teh anget.
Duduk makbreg, pikiran saya langsung melayang. Soal cabang-cabangan itu tadi. Pernah suatu malam di Tobelo, karena bosan makan ikan, saya pergi makan siang sendirian. Masuklah saya ke sebuah warung coto. Sembari pesan, saya bertanya, apa hubungan warung itu dengan warung coto di Ternate? Sebab di warung itu diberi tulisan: Cabang Ternate.
Penjualnya tampak grogi. Usai menyantap, waktu mau bayar, saya tidak diperbolehkan membayar. Karena penasaran, saya bertanya duduk soalnya. Ternyata warung itu tidak ada hubungan apapun dengan warung makan di Ternate. Penjual mengira saya kerabat warung coto di Ternate yang ditulis itu. Saya ngekek. Saya hanya tanya iseng saja karena kebetulan usai dari Tobelo, saya mau lanjut ke Ternate. Usai membayar, saya bilang, “Kak, kenapa diberi keterangan cabang Ternate? Kenapa tidak sekalian cabang Makassar atau cabang Jeneponto?” Saya tanya begitu, orangnya malah makin bingung.
Minuman saya datang. Butuh 15 menit untuk menyajikan minum. Antrean ada sekira 10 orang. Lumayan lama. Tapi tak masalah. Ternyata dari tampilan teh angetnya, boleh juga. Pakai gula batu, dan teko klasik untuk ngecong. Andy Eswe pasti senang kalau di sini. Asal banyak cong-congan dia senang. Dia bisa ngajak bribikannya makan di sini. Pura-pura pesan teh satu, tapi gelasnya minta dua. Gula batu dibagi dua, isi teh di teko cukup untuk berdua. Cocok.
Hampir 40 menit, semua pesanan saya datang. Saya sebetulnya sudah mulai agak malas makan karena lumayan lama menunggu. Iseng saya sendok tongsengnya. Bajilak! Trenyep, trenyep… rasa gurih daging kambing, merambat dari lidah ke kerongkongan saya. Mengirim sinyal lezat di kepala saya. Lalu merambat semua ke seluruh tubuh, dan terhenti di dengkul saya. Subhanallah… Enak sekali.
Saya ambil lagi sesendok, untuk memastikan. Jleng! Trenyep, trenyep… Lunas semua kekesalan saya, dari mulai kesal tidak diajak nyate sampai kesal menunggu.
Saya coba saye klatak. Nyussss… empuk, gurih, dan manis. Liur membadai di mulut saya. Tiba-tiba saya teringat Iqbal Daryono yang sebentar lagi mau ke Ostrali. Kami belum sempat merayakan makan sate bersama. Mestinya di sini, di warung ini.
Tanpa babibu, saya langsung makbatbet, sate sebelah kanan, tongseng sebelah kiri, mulut tak berhenti mengunyah. Ediaaaan… semua makanan di depan saya habis tapis. Semua kenikmatan kuliner itu disempurnakan dengan teh anget yang manisnya muntup-muntup. Gradasi manisnya terasa makin tajam kalau makin kita sesap.
Selesai sudah. Total semua habis 51 ribu rupiah. Tidak bisa dibilang murah, tapi untuk seluruh rangkaian kelezatan itu, sungguh tak rugi.
Kepala saya langsung bening. Rasa nelangsa karena ditinggal nyate tiba-tiba lenyap. Makanan yang lezat membuat semua perasan buruk kabur.
Vespa-biru-malam menderu menuju Perum Mega Asri tercinta. Rasa lezat masih tersisa di lidah, rasa puas tertinggal di dada. Bulan yang belum separo di langit tiba-tiba terlihat indah.
Silakan yang mau mencoba…