Suatu hari, Paman Mulyo datang dari Migelang ke Yogyaraya. Ia baru saja mengambil cuti panjang dari pekerjaannya sebagai Bos di perusahaan terkenal. Dengan wajah lelah namun penuh senyum, ia tiba di rumah keluarga Dipo sambil membawa oleh-oleh yaitu, keripik tempe kesukaan keponakannya itu.
Setelah makan siang, mereka duduk berdua di beranda rumah. Angin sepoy-sepoy menggerakkan tirai dan suara anak-anak bermain dari kejauhan terdengar samar. Paman Mulyo menyeruput kopi hitam buatan Ibu Dipo, lalu memandang Dipo yang kini duduk bersandar sambil memainkan pensil di jari-jarinya.
“Mas,” kata Paman Mulyo tiba-tiba, “Om mau nanya sesuatu. Gimana sih… cara jadi ayah yang baik menurut anak remaja?”
Dipo mengangkat alis, sedikit heran. Tapi ia menatap serius ke arah pamannya, lalu menjawab pelan, “Inget satu hal dulu, Om. Om kan pernah jadi anak kecil, jadi pasti tahu rasanya. Tapi Om nggak akan pernah tahu rasanya jadi anak Om…”
Paman terdiam. Kalimat itu menghantam seperti ombak tenang yang tiba-tiba memukul karang.
Dipo melanjutkan, “Kadang orang tua ngerasa udah ngerti anaknya, karena mereka pernah jadi anak. Tapi zaman udah beda. Masalah, tekanan, bahkan cara mikir juga beda. Jadi orang tua tuh bukan soal ngatur, tapi belajar bareng, dengerin, bukan cuma ngomel. Kadang anak cuma butuh didengar, bukan disuruh terus.”
Paman Mulyo mengangguk pelan. Ia seperti menelan nasihat itu bulat-bulat.
“Contohnya nih,” lanjut Dipo, “Temenku, Fajar, dimarahin terus tiap pulang sekolah karena nilainya turun. Tapi nggak ada yang tanya kenapa dia susah belajar. Ternyata dia stres, dibully. Tapi orang tuanya malah bilang dia malas. Dia sering nangis karena hal sepele, karena dari pagi dia udah nahan nangis. Dan orang tuanya bilang di cengeng juga. Padahal kalau mereka dengerin dulu, mungkin bisa ngerti dan dibantu.”
“Terus Dipo pengen punya ayah kayak gimana?” tanya Paman, suaranya lebih pelan sekarang.
“Yang ngasih ruang buat cerita. Yang nggak cepet marah. Yang tahu kapan harus jadi temen, kapan harus jadi penuntun. Ayah yang bisa bilang ‘nggak apa-apa gagal, yang penting bangkit’, yang tidak melihat dari luar saja, tapi digali sampai lumbuk hati terdalam (beh keren kata-Dipo). Bukan yang cuma bisa liat dari luar.”
Paman Mulyo tersenyum kecil. “Kamu pinter, Mas Dipo.”
Dipo mengangkat bahu. “Dipo cuma ngomong apa yang banyak anak rasain, tapi jarang bisa bilang.”
Senja mulai turun di Yogyaraya. Hari itu, bukan hanya Dipo yang belajar dari hidup. Tapi juga Paman Mulyo, seorang calon ayah yang akhirnya tahu bahwa menjadi orang tua bukan soal mengulang masa lalu, tapi memahami masa depan yang tak pernah dia alami.
Tamat