Sebetulya saya sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan serial status saya tentang Bagor. Ada beberapa alasan.
Pertama, fans Bagor ini rata-rata crigis. Kalau status Bagor gak muncul, sering tanya ke saya. Tentu saya berhak dongkol: apa kewajiban saya harus bikin status-status tentang Bagor? Lha wong kewajiban saya yang jelas macam salat lima waktu saja masih tidak saya tunaikan dengan baik, lha kok malah disuruh bikin status tentang Bagor. Kok le minthul…
Kedua, Bagor ini menjanjikan para fanst ulisannya yang dari rekan-rekan kerjanya mau ngirimi saya jam tangan. Sampai sekarang, jangankan jam, tangannya juga gak nyampai-nyampai. Cuma no resi dari Lazada saja yang dikirim. Barangnya gak sampai. Protes ke Lazada juga percuma. Pintar sekali cara ngelesnya, mulai dari “pesanan dalam proses pengiriman”, sampai “semoga masukan Bapak bisa membuat kami lebih baik”. Saya gak peduli kamu lebih baik atau tidak, wahai Lazada… Saya cuma butuh barang pesanan Bagor yang konon berwujud jam tangan itu sampai. Woo gembus!
Ketiga, hape saya rusak. Jelas, sebagai insan kiwari, saya beli hape baru. Masalahnya begitu hape baru itu saya pegang, saya gengsi untuk menginstal BBM. Padahal saya punya grup BBM dengan Bagor cs, termasuk di antaranya dengan Kapsul. Nah, begitu sudah tidak satu grup dengan mereka maka otomatis ingatan-ingatan saya akan masa lalu jadi tidak mudah muncul. Tidak ada bahan lagi untuk bercerita. Pokoknya saya tidak mau menginstal aplikasi BBM lagi. Titik. Apapun risikonya. Hape keren ada alikasi BBM-nya itu seperti dawet enak dan seger tapi ada lalat mati di dalamnya. Hiiii… Gak satu grup dengan Bagor juga gak apa-apa. Gak patheken saya.
Terlebih semenjak dia kalah banyak main judi di Piala Eropa kemarin, kebenciannya dengan sepakbola makin menjadi-jadi. Padahal gak ada yang menyuruh dia main judi. Kalah ya kalah sendiri. Kalau menang ya dinikmati sendiri. Mental Bagor benar-benar makin keblinger ketika dia mengirimi semua temannya dengan kaos berbahan bagus, bertuliskan: Sing penting ora bal2an. Rak ya asu to…
Olahraga paling dahsyat di muka bumi ini setelah catur, dihina sebegitu rupa. Dasar orang lagi punya uang, semua temannya yang suka sepakbola dikirimi. Termasuk saya. Begitu kaos saya buka, saya langsung misuh, “Bajingan ini…”. Bahan kaosnya bagus sekali. Enak dipakai. Warnanya juga segar. Pas buat saya yang bermuka segar juga.
Tapi kalau saya pakai, jelas itu akan membuat harga diri saya terbanting. Akhirnya setelah ragu sekian jam, saya bakar kaos dari Bagor. Saya foto. Cekrek. Saya kirim lewat Whatsapp. Sorry bukan lewat BBM. Bagor tidak membalas.
Tiga hari kemudian, ada kiriman lagi dari Bagor. Dia mengirimi saya dua kaos dengan desain yang sama, dengan warna yang berbeda. Jiamput. Ngece ini. Mau saya bakar lagi. Tapi kok rasanya sayang… Sementara saya ingat di luar sana ada banyak orang yang tidak punya banyak kaos, masak saya membakar kaos baru. Bagus lagi. Bahannya. Bukan tulisannya. Akhirnya saya putuskan untuk membuang kedua kaos itu di tempat sampah. Saya yakin kalau ditempat sampah bakal aman. Karena pasti ada yang memakainya. Supaya terjaga kebaruannya, saya buang dengan plastiknya. Saya foto lagi. Cekrek. Cekrek. Saya kirim ke Bagor lagi. Dia tidak membalas lagi.
Seminggu kemudian, sebuah paket dari Bagor muncul lagi. Setelah saya buka, isinya kaos 5, celana pendek 2, dan celana dalam 3. Total ada 10 barang. Dan semua tetap ada tulisannya: Sing penting ora bal2an. Kopet!
Lha pas ndilalah kok ketika saya buka, ada istri saya. Dengan polos dia bilang, “Mas Bagor baik banget…”
Baik? Saya hampir bilang ke istri saya kalau itu semua adalah bentuk penghinaan. Namun saya sadar, urusan saya dengan Bagor adalah urusan saya sendiri. Tidak baik melibatkan istri.
Semua kaos, celana pendek, dan celana dalam, saya simpan. Sembari berpikir keras, apa yang harus saya lakukan. Celakanya, suatu sore, dengan muka bangga istri saya mengenakan kaos itu. Dia memang suka sekali memakai barang-barang milik saya terutama kaos dan jam tangan. Wah, ini tidak bisa dibiarkan. Tapi kalau saya buang, Bagor pasti mengirimi makin banyak kaos seperti itu.
Ketika saya bingung itulah, saya teringat Kapsul. “Sul, kowe entuk kaos seka Bagor?”
“Ora ik…”
Saya paham. Bagor “meneror” teman-temannya yang suka sepakbola. Akhirnya saya memotret kaos-kaos itu di tempat sampah, seakan saya membuangnya. Keesokan harinya, saya kirim kaos-kaos dan yang lain itu ke Kapsul.
“Iki dikapakke?” tanya Kapsul begitu menerima kiriman saya.
“Didol wae.”
“Cocok.”
Benar. Hanya kurang dari 10 menit setelah foto kaos itu diunggah ke Facebook Kapsul, langsung habis.
Saya mendapat kiriman dari Bagor lagi. Saya kirim ke Kapsul lagi. Dijual lagi oleh Kapsul lagi. Habis lagi. Begitu terulang sampai 3 kali. Batin saya, “Hayo kirim lagi yang banyak, Goooor!”
Tapi ternyata kiriman berhenti. Saya menduga, Bagor tahu kalau kaos yang dikirim ke saya dijual Kapsul lewat Facebook.
“Thut, kok kaosmu ra teka maneh?”
“Ora ana kiriman maneh je, Sul…”
“Lha memange sapa sing ngirim?”
“Anu… Bagor…”
“Ooo lha layak…”
Akhirnya Kapsul bercerita. Saking sukanya dia dengan aktivitasnya berjualan kaos di Facebook, suatu sore, dia membawa satu potong untuk Bagor. “Soale aku ngerti nek Bagor ki ra seneng bal-balan.” begitu kata Kapsul.
Begitu Bagor menerima kiriman kaos itu, kata Kapsul, Bagor malah misuh-misuh. “Puthut ki cen asu….”
Saya terkekeh mendengar cerita itu. Rasakna kowe, Gor….
Tidak lama kemudian, Kapsul mengunggah kaos-kaos dengan desain baru dan warna baru dengan tulisan yang sama. Segera saya hubungi dia.
“Sul, kowe kok entuk kaos kuwi maneh?”
“Entuk piye? Aku nggawe kok…”
“Maksudmu nggawe ki piye?”
“Ya nggawe. Tak desain maneh. Njuk tak produksi.”
“Lha kok isa?”
“Maksudmu piye? Lha ya isa. Kaos payu kok. Mben tak cetak mesthi ludes. Kowe gelem po? Nek gelem tak kirimi siji. Gratis wis…”
Saya hanya diam. Bagor cen bajingan…