“Mas, ini kaos untuk Mas Puthut…”
“O ya. Makasih, Dik.” ucap saya sambil mau mengambil uang di dompet.
“Gak usah, Mas. Gratis ini.” kata pemuda itu dengan sopan. “Tapi saya minta tolong kaos itu diunggah di IG Mas Puthut.”
Saya sambil mesem membaca tulisan di kaos itu pun mengangguk. “Tahu kalimat ini sebetulnya siapa yang menulis awalnya?”
“Tahu, Mas.”
“Doakan beliau ya…”
“Baik, Mas.”
Semalam kaos itu saya pakai. Terus saya unggah di IG, tentu sambil menahan ambegan agar perut saya tidak terlalu ketok njembling.
“Mas, makasih ya…” ucap pemuda itu tadi pagi.
“Laku berapa?”
“Semalam dapat pesanan lagi lewat IG sampeyan 42 buah.”
“Lumayan ya…”
“Ya, Mas. Makasih ya…”
“Duitnya jangan dipakai mabuk-mabukan ya…”
“Gak, Mas. Mau saya tabung.”
Masih muda kok suka nabung, batin saya. Lalu masuk ke hape sebuah poster digital pertunjukan seniman yang merasa muda padahal umurnya hampir 40 tahun. “Mas Thut, byasa ni eaaaa… dah mau akhir tahun.”
“Ha njuk akhir tahun da pa je?”
“Mah saya mau jadi. Saya mo brekesenian. Ni wang juga dah nipis eaaa…”
“Ha trusss?”
“Gitu ja kok ndadak takon to Mas Thuuut… siu ni malama kayak Babahe Ongja!”
Saya kok jadi gelik sendiri.