Pledoi. Banyak teman saya yang bertanya, kenapa saya membela Saut Situmorang terkait kasus dia dengan Fatin Hamama. Ada dua jawaban. Pertama, saya berusaha memisahkan antara “kasus Saut” dengan “Saut”. Seperti yang Anda bisa lacak dari berbagai forum tentang kasus Saut, maka tidak ada alasan untuk tidak berada di belakangnya.
Tapi baiklah, mari kita ganti Saut dengan orang lain. Anggaplah yang kena kasus ini adalah Agus Noor. Apakah saya juga akan membela? Ya. Kalau diganti dengan Goenawan Mohamad? Saya akan tetap membelanya.
Kedua, Saut adalah teman saya. Tentu sebagai teman, tidak semua hal yang ada di diri Saut saya setujui. Tapi bukankah saya gila kalau berharap berteman dengan orang yang sempurna di mata saya? Dan lagi, saya yakin, di mata teman-teman saya, pastilah saya lebih banyak menyebalkan dibanding menyenangkan. Saya tidak lebih baik dibanding Saut. Dan saya memang punya perasaan sentimentil dengan keluarga dan teman-teman saya. Kadang-kadang itu mengganggu kejernihan pikiran, tapi lebih sering itu makin mengukuhkan bahwa saya manusia biasa.
Posisi. Saya tahu persis bahwa ada lembaga yang sejak awal sudah terlibat dengan kasus ini, bahkan jauh sebelum kasus Saut terjadi. Lembaga itu adalah Aliansi Anti Pembodohan (AAP). Tentu saya tahu diri dan tahu porsi. Kepemimpinan advokasi kasus Saut saya kira tetap dipegang oleh kawan-kawan di AAP. Saya, dan Anda yang peduli dengan kasus ini, siap terlibat mengisi ruang kosongnya.
Pengingat. Ada yang mengganggu di pikiran saya. Akhir-akhir ini, ada banyak wartawan yang kena kasus hukum dan terutama kasus pemecatan. Ada banyak lembaga tempat bernaung wartawan di negeri ini, namun ketika mereka punya kasus, tidak mudah untuk diselesaikan. Kalau nasib wartawan saja seperti itu, bagaimana dengan penulis dan lebih spesifik lagi sastrawan? Siapa yang akan mengadvokasi mereka jika terjadi sengketa hukum? Memang ada banyak lembaga sastra di negeri ini, tapi apakah mereka melakukan kerja-kerja advokasi? Dan kenapa mereka diam? Apakah yang menimpa Saut dianggap bukan persoalan Sastra? Bagaimana jika mereka kena kasus seperti Saut?
Saya masih ingat beberapa tahun lalu, seorang penulis hendak diajukan ke meja hijau lantaran dianggap melakukan plagiasi karya. Setelah diperiksa oleh beberapa orang yang cukup ahli di bidang tersebut, penulis tersebut tidak terbukti melakukannya. Namun karena mempertimbangkan betapa repotnya jika semua itu diselesaikan di meja persidangan, akhirnya ditempuh “jalan damai”. Penulis itu membayar uang sebesar 65 juta rupiah, dari 200 juta uang yang diminta pihak penuntut. Kasus seperti itu cukup banyak terjadi di Indonesia. Tapi semua diselesaikan diam-diam, dan karena itu jauh dari rasa keadilan.
Saya akan memberikan satu contoh lagi. Ada dua penerbit. Katakanlah penerbit A dan B. Mereka berdua menerbitkan karya X. Penerbit A nenerbitkan tanpa hak cipta. Penerbit B menerbitkan dengan hak cipta. Mereka saling kenal satu sama lain. Apakah kasus semacam itu harus berakhir di pengadilan? Kalau bukan pengadilan, ke mana kita harus menyelesaikan kasus seperti ini? Kalau Anda jadi teman kedua belah pihak, apa yang harus Anda kerjakan?
Kalau mau saya jembrengkan di sini, ada banyak kasus literasi di Indonesia yang cukup membuat rentan para penulis, sastrawan, dan pekerja kreatif lain yang terkait dalam bidang ini (penerjemah, penata letak, ilustrator, pebisnis buku, dll). Kasus Saut hanyalah satu di antara sekian banyak kasus yang ada, dan berpotensi membesar jika tidak ada yang peduli.
Pembuka. Kalau Anda peduli dengan kasus Saut, saya persilakan menyatakan diri di kolom komentar. Siapa tahu, AAP atau saya, membutuhkan bantuan Anda.
Januari nanti, Saut akan mulai menghadapi proses persidangan yang cukup panjang, dan mungkin meletihkan. Proses itu bisa membuatnya berakhir di dalam terali besi. Mungkin kita bisa melakukan sesuatu, sebelum kita semua menyesalinya.
Terimakasih.