Saya punya adik kelas di Fakultas Filsafat UGM, namanya: Katolik. Nama aslinya: Unggun Hakmi. Tapi karena agamanya Katolik, teman-teman sepantarannya memanggilnya dengan nama Katolik. Dulu, panggilan begitu biasa saja. Kalau sekarang mungkin sudah dianggap sara.
Karena semua temannya memanggil Katolik, saya juga ikut-ikutan. Katolik ini anak asli Gunung Kidul. Trah petarung. Saya punya banyak teman dari Gunung Kidul dan hampir semua mentalnya sama: petarung. Di acara apa saja, Unggun mau jadi apa saja. Mulai dari angkut-angkut sound, ngecat spanduk, jadi mc, jadi petugas parkir, semua dilakoni dengan riang gembira. Asal bisa dapat rokok, makan nasi padang, dan minum Anggur Orangtua, hidupnya selalu hepi.
Oleh teman sepantarannya, termasuk Katolik, saya dianggap idola. Foto saya bahkan sempat ditempel Katolik di salah satu dinding kos temannya. Bukan dinding kosnya. Karena sebetulnya dia tak pernah benar-benar punya kos.
Salah satu sahabat dekat Katolik bernama Kardono. Sekarang jadi orang penting di Jawa Pos. Kos Kardono inilah salah satu tempat yang sering dipakai menginap Katolik. Bahkan orang seperti saya sering bingung, sebetulnya yang ngekos itu Katolik atau Kardono? Ternyata yang membayar Kardono tapi yang lebih sering tidur di situ malah Katolik.
Karena sering gumbul sama Kardono, logat Katolik berubah jadi suroboyoan. Fasihlah dia kalau cuma ngomong: “Cuk, nggatheli, yo’ apa” dll. Sudah nggak mirip orang Gunung Kidul. Kardono ini anak pintar. Sejak mahasiswa hidupnya bergantung pada menerjemahkan karya-karya filsafat di sebuah rumah penerbitan. Tapi kalau ngomong bahasa Indonesia, dia perlu menerjemahkan dulu dari bahasa suroboyonan ke dalam bahasa Indonesia lewat otaknya. Ya wajarlah.
Di antara sekian banyak geng adik kelas saya, saya paling suka geng si Katolik dan Kardono. Mereka punya sejenis kekonyolan yang susah dipahami orang biasa. Sungguh yang seperti itu saya suka.
Ibu kos Kardono punya warung kecil di teras kos. Baru sekira dua atau tiga tahun lalu, Kardono nyaur utang ke ibu kosnya. Ternyata ada sekian belas porsi makan yang tidak dibayarnya. Tapi kata Kardono, Katolik lebih parah lagi. Mungkin puluhan porsi.
Untuk membayangkan keganjilan mereka, saya akan ceritakan satu saja. Di Yogya biasa ada orang atau beberapa orang datang ke kos untuk mengajak salat jamaah di masjid. Semacam jamaah tabligh. Orangnya baik dan santun. Suatu saat rombongan ini mengetuk kamar Kardono. Kebetulan Kardono sama Katolik sedang di dalam kamar.
Begitu mereka masuk kamar kecil itu, tentu pengap. Kardono langsung bilang, kalau dia beragama Katolik. Dia menunjuk ke arah Katolik: “Kalau dia Islam, Mas.” Sambil berkata begitu, Kardono pamit keluar dari kamar.
Walhasil, terjadilah proses ajakan salat jamaah oleh rombongan tadi kepada orang beragama Katolik. Terpaksa Katolik sepanjang didakwahi cuma plonga-plongo sambil misuh-misuh di dalam hati…
Sejak saat itu, Katolik menyimpan obsesi ingin mengerjai Kardono ganti. Suatu saat datang rombongan semacam jamaah tabligh, Katolik langsung keluar kamar, dan mempersilakan masuk rombongan itu sambil bilang, “Silakan masuk, Mas. Kawan saya itu sudah lama meninggalkan salat.”
Di dalam, Kardono yang sedang asyik menerjemahkan buku, menjawab dengan ringan, “Mas, lama saya menunggu kalian. Saya mau minta tolong, kawan saya itu mau pindah agama. Toloooong diselamatkan, Mas…”
Orang-orang yang mau masuk kamar Kardono otomatis langsung menggandeng tangan Katolik. Berjam-jam mereka mengajak dialog Katolik agar tidak jadi pindah agama.
Itu sedikit soal kebiasaan ganjil mereka. Lain kali kalau punya waktu, biar mereka yang bercerita sendiri. Saya mau cerita yang lain.
Lebih nyaman sekarang ini saya panggil Katolik dengan nama aslinya: Unggun. Dia sekarang menjadi salah satu orang yang paling sukses dalam hal menjual sepeda motor di Gunung Kidul. Beberapa minggu lalu, ketika saya mengunggah status betapa sulitnya membeli sepeda motor dengan tunai, Ungguh langsung menjapri saya. “Kene tak uruske, Bos. Aja kaya wong susah… Kowe ki idolaku je.”
“Tapi aku mbayar lho, Nggun. Emoh aku nek gratis.”
“Gratis wae ta. Santai wae nek karo aku.”
Tapi saya bersikeras untuk membayar. Akhirnya Unggun yang mengalah.
Tapi sampai dua minggu, saya belum juga dapat kabar. Akhirnya saya tanya, “Nggun, piye kabare sepeda motorku?”
“Halah bos, gek ntes wingi kok wis mbok takokna. Sabar, Bos…”
Saya sudah mencium gelagat mau dikerjai.
Malam ini, tiba-tiba saya melihat dia mengunggah iklan sepeda motor seri baru di akun IG-nya. Langsung saya hubungi dia. “Nggun, piye kabare sepeda motorku?”
“Lho, kabar piye?”
“Lha nek kowe takon balik neng aku, njuk aku takon sapa je, Nggun?”
“Ngene lho, Bos. Situ kan pernah belajar filsafat. Nek takon kabar ki berarti wis ana barange. Nek durung ana ya ora isa ditakoni kabare.”
“Lha berarti durung ana?”
“Lha kok malah takon maneh…”
Asu. Saya mulai misuh dalam hati campur geli. “Nggun, kowe ki tak bangga-banggakan sebagai adik kelas yang mengusai jagat sepeda motor je.”
“Kuwi situ ora kleru. Wis bener.”
“Lha nggolekke motor kok ora entuk-entuk?”
“Wis tak daftarke. Iki lagi antre.”
“Iki aku meh tuku motor apa berobat neng rumahsakit je…”
“Bos, nek soal ngene iki, Jokowi wae kudu antre.”
“Raimu.”
“Kono, Jokowi kon tuku motor, nek ra antre, aku sesuk tak mubeng Gunung Kidul ra kathokan!”
“Lha ra kathokan tapi sarungan.”
“Kowe kok isih cerdas ta, Bos… Sesuk tak uruske maneh.”
Mendengar itu, saya antara percaya atau tidak. Soalnya saya tahu betul kelakuannya yang ganjil sejak dulu.