Saya selalu teringat pesan dari para ulama besar dari mulai Syaidina Ali sampai Imam Syafi’i, yang selalu disitir oleh Gus Baha’, tentang kawan: “Janganlah kamu berteman dengan orang yang tidak siap melihatmu berbuat salah.”
Orang seperti itu tidak layak dijadikan teman karena sesungguhnya dia mengingkari fitrah manusia yaitu berbuat salah. Dan lebih berbahaya lagi, karena diam-diam, orang seperti itu punya rasa sombong.
Di mata orang seperti itu, punya potensi semua hal dianggap salah. Ini salah. Itu salah. Tidak terbuka peluang bagi orang untuk memperbaiki diri. Pernah, seorang alim ditegur oleh Tuhan karena berdoa agar dia dijauhkan dari kesalahan. Kata Tuhan, “Lha kalau kamu tidak berbuat salah, lalu di mana letak kehebatan sifat pengampun-Ku?”
Sementara Kanjeng Nabi sendiri mensifati umatnya, dan melukiskan kebesaran Tuhan, salah satunya dalam bentuk betapa dhaifnya manusia dan betapa besarnya pengampunan Tuhan. Anak-cucu Adam itu senantiasa berbuat salah, dan sebaik-baiknya mereka adalah yang lekas meminta ampunan. Sementara, Tuhan itu membentangkan tangannya di malam hari agar orang yang salah di siang hari dapat pengampunan, dan Tuhan membentangkan tangan di siang hari agar manusia yang berbuat salah di malam hari dapat pengampunan.
Ini berbeda sama sekali dengan orang Khawarij. Kaum ini sering mencap orang yang berbuat salah dan maksiat telah keluar dari Islam. Sementara Tuhan menyeru, sebanyak apapun kesalahan dan dosa hambanya, jangan pernah berputus asa dari ampunan Tuhan. Aneh sekali kaum Khawarij ini yang justru ‘mengusir’ orang yang sudah masuk Islam hanya karena berbuat salah, sementara Tuhan selalu menyeru dan mengulurkan tangan agar orang yang berbuat salah supaya tidak berputus asa.
Ada kisah orang alim yang selalu dijadikan contoh oleh Gus Baha’ dalam konteks ini. Beliau adalah Mbah Nafi’. Ulama besar dari tanah Jawa. Waktu sudah dianggap alim, oleh sesepuh dan guru-gurunya, Mbah Nafi’ diminta mengajar mengaji. Tapi beliau menolak karena takut salah dalam mengajar.
Akhirnya beliau diundang oleh guru-gurunya dan diberitahu: “Kamu keliru kalau tidak mau mengajar karena takut salah. Memangnya kamu itu siapa? Orang yang takut berbuat salah justru orang yang sombong. Kamu itu bukan nabi kok takut berbuat salah.” Semenjak itu, Mbah Nafi’ mau mengajar.
Sebetulnya nukilan-nukilan kisah di atas mau saya sampaikan di ajang perpisahan kru Mojok kemarin sore. Kami rame-rame pergi ke Bali, dari mulai tim yang di Yogya sampai tim marketing yang ada di Jakarta, untuk melepas kepergian salah satu redaktur andalan kami: Lia.
Tapi hal di atas tak jadi saya sampaikan karena saya merasa kurang pede menyampaikan hal itu di sebuah tempat yang biasanya dipakai untuk berpesta dan bersenang-senang. Walhasil ya kata basa-basi yang kurang bermutu dan formalitas semata.
Tapi semoga substansi pesan saya, yang selalu saya ulang terus di berbagai pertemuan lembaga-lembaga yang ada di KBEA, sampai kepada teman-teman. Tradisi yang kami kembangkan di komunitas kami adalah menghargai proses kebersamaan. Orang berbuat keliru, harus dianggap sebagai kewajaran. Asal mau dikoreksi, dan mau memperbaiki diri. Komunitas kerja yang baik itu memproses setiap kekeliruan individual menjadi pelajaran kebersamaan.
Sistem organisasi itu dibangun dengan konsep ideal. Tapi disempurnakan karena kesalahan.
Dan setiap perpisahan harus dirayakan dengan kegembiraan. Karena kami menghargai proses kebersamaan. Kalau ada orang yang memang harus berproses di tempat lain, itu bagus. Menambah pengalaman. Hidup menjadi lebih dinamis. Bisa belajar dari tempat lain sehingga tumbuh lebih baik.
Semoga energi perpisahan di Bali, tidak membuat Lia terlalu bersedih. Dia sangat berharga bagi kami, dan dia berada dan membuat iklim komunitas yang bukan hanya menghargai perbedaan, tapi juga kesalahan dan kekeliruan setiap orang.
Sukses selalu, Lia!