Keberanian Itu Entah Datang dari Mana

Keberanian Itu Entah Datang dari Mana

Jika saya bertemu dengan para aktivis ‘98, dan saya ajukan pertanyaan, “Jika waktu bisa diulang, apakah akan jadi aktivis?”

Hampir semua yang pernah saya tanya, menjawab: tidak. Seolah mereka bersepakat bahwa apa yang telah mereka lakukan di tahun-tahun berbahaya itu sebetulnya memang terlalu berisiko. Tapi entah karena dorongan apa, mereka memiliki keberanian di luar takaran.

Saya kira, saya pun termasuk dalam golongan itu. Kalau saya ingat semenjak mulai terlibat sebagai peserta mogok makan di Fakultas Filsafat UGM, usia saya adalah misteri yang pendek. Saya tidak tahu nasib esok hari. Setiap saya bangun tidur, hal pertama yang saya sadari: saya masih hidup.

Hari-hari dalam kecemasan dan ketegangan, apalagi jika senja angslup di Fakultas Filsafat, apalagi jika yang sedang menjaga kami tak begitu banyak orang, kekhawatiran saya dkk ‘diambil’ oleh pihak penguasa atau diserang oleh preman selalu seperti sebilah pisau yang diletakkan di leher.

Tapi pada akhirnya, saya sadar, ketakutan itu harus dihadapi. Keberanian harus ditumbuhkan. Maka, jiwa korsa, suntikan ‘ideologi’, nyanyian dan puisi tentang keberanian seperti karya-karya Wiji Thukul, WS Rendra, Pramoedya Ananta Toer dll, menjadi penting. Lagu-lagu perjuangan yang dibuat oleh para senior kami, menjadi begitu magis. Semua seperti dipersatukan bukan hanya cita-cita demokrasi, tapi juga masa depan yang tak pasti.

Namun, sekalipun jika disuruh mengulang hidup di zaman itu belum tentu berani melakukan hal yang sama, saya tidak pernah merasa menyesal menjadi aktivis ‘98. Bahwa kuliah saya kemudian terbengkalai (walaupun akhirnya lulus juga), walaupun saat Reformasi usai, saya bingung mau kerja apa, tetap saja pengalaman itu mahal harganya, dan membangun beberapa nilai penting yang berguna bagi saya di kehidupan selanjutnya.

Pertama, keberanian mengambil risiko. Sepertinya, risiko-risiko di kehidupan saya setelah Reformasi tergolong berat, tapi karena saya pernah mengalami kondisi yang lebih berat dari itu, semua seolah masih bisa tertanggungkan.

Kedua, kerja tim. Di saat penuh pergolakan dan risiko, satu-satunya yang bisa kita percaya adalah tim kita. Semua bekerja saling mengisi. Tidak ada yang merasa jadi bos. Kalau saatnya mau demonstrasi ya semua orang bikin perangkat aksi. Tidak peduli level pimpinan, saatnya ngecat spanduknya ikut ngecat. Saat ditunjuk jadi pimpinan aksi ya siap. Saat diminta jadi tim keamanan ya siap juga. Karena semua juga seperti itu. Tidak ada previlese terhadap satu atau dua orang. Jabatan di struktur organisasi bukan berarti tidak bekerja hanya di bidang itu saja.

Ketiga, karena saya ditunjuk jadi kepala departemen Pendidikan dan Propaganda, maka mau tidak mau ya harus menulis. Kelak bahkan dalam pendidikan dan rapat-rapat penting, saya harus membuat makalah dan silabus pendidikan. Dan semua ilmu itu kelak berguna, bahkan sampai sekarang.

Itu sedikit dari sekian saripati yang bisa saya dapatkan ketika menjadi aktivis ‘98.

Tapi ketika kemudian saya ditunjuk jadi Sekjen dan kemudian jadi ketua KPRP, kemampuan saya mesti diuji lebih tinggi lagi. Kemampuan melakukan manajemen tim, membuat keputusan politik, menyelesaikan konflik, lebih disiplin dalam soal waktu, dan mengatasi rasa bosan dalam tekanan. Energi rasanya terkuras habis. Masalah selalu datang. Satu masalah selesai, dua masalah datang. Begitu terus. Capek. Tapi ya harus dilakoni, karena itu persoalan tanggungjawab.

Maka ketika tahapan hidup saya berubah, mentalitas seperti itu bertahan di diri saya. Sampai sekarang, naluri menjadi pemimpin, disiplin dalam bekerja, seolah sudah menyatu dalam denyut nadi.

*

Ikut menjadi bagian dari penggarapan buku ini, membuat ada banyak memori yang sudah tertimbun, mendadak menyeruak lagi. Ingatan-ingat berkelebat. Penggalan-penggalan kisah, nongol lagi. Saya merasa ada di sebuah ambang, antara rasa bangga sekaligus melankolia.

Bangga pada apa yang sudah sama-sama kami kerjakan di masa lalu sebagai anggaplah ‘tugas sejarah’. Tapi juga semacam melankolia, karena perlahan apa yang dulu kami perjuangkan tak sampai pada paripurna. Kalau mau jujur, banyak agenda Reformasi yang bukan hanya terinterupsi, tapi juga bisa mengarah ke arus balik. Tentu pemikiran semacam ini perlu direfleksikan dan bisa diperdebatkan. Namun itulah yang saya rasakan. Tapi setiap perasaan itu datang, saya berusaha menepisnya. Mungkin saatnya, tugas sejarah ini dipanggul oleh anak-anak muda Indonesia. Generasi yang lebih segar dari saya. Karena setiap zaman punya napasnya.

Buku ini, bisa jadi adalah sebuah memoar kolektif. Hal yang tidak mudah dikerjakan. KPRP itu pernah berada di fase emas, di mana ratusan orang terlibat di dalamnya. Tentu setiap orang punya cerita dan refleksi masing-masing, termasuk memutuskan mana yang harus diingat dan mana yang harus dilupakan.

Di sinilah letak kesulitan penyusunan buku ini, sekaligus tantangan bagi kedua penulisnya. Namanya juga buku, tidak mungkin semua hal terakomodasi. Tidak semua bisa distrukturkan dengan mudah menjadi bab per bab, hingga kalimat demi kalimat. Tapi saya kira, saya harus mengapresiasi kedua penulis sekaligus penyunting buku ini.

Kami juga tidak terlalu beruntung. Sebetulnya, dokumen organisasi kami ini nisbi lengkap karena sejak awal ada beberapa orang yang mendokumentasikannya, dan sebagai organisasi besar di saat itu, banyak diliput oleh media di dalam dan di luar negeri. Namun mengumpulkan itu semua, adalah ikhtiar yang tidak mudah. Apalagi harus disadari, Mei ‘98 adalah hajatan banyak orang. Apalagi setelah semua media lalu fokus pada Jakarta sebagai titik penting, mengingat episentrum pergulatan politik memang terjadi di sana, walaupun mereka bukan yang memulainya.

Media mungkin tidak bisa menangkap keresahan kami ketika Soeharto akhirnya menyatakan mundur. Semua penuh euforia. Di Jakarta, kemenangan itu dirayakan dengan gegap gempita. Di Yogya bahkan banyak aktivis yang cukur gundul. Tapi yang terjadi di KPRP justru ada rasa sendu. Karena kami menyadari, ke depan, persoalan menjadi lebih rumit. Kami belum sempat merumuskan apa yang akan dilakukan jika Soeharto jatuh. Dalam bahasa yang lebih vulgar: Soeharto jatuh terlalu cepat, di luar perkiraan kamu.

Selanjutnya adalah kisah-kisah perjuangan organisasi di babak selanjutnya yang tidak mudah, yang bisa Anda baca di buku ini.

Buku ini selain sebagai sebuah upaya dokumentasi, juga menjadi semacam pengingat bagi siapapun. Politik tidak pernah sederhana. Ia terlalu rumit. Variabelnya terlalu banyak. Maka dari puluhan bahkan ratusan orang yang pernah jadi aktivis di dalamnya, hanya sedikit sekali yang tetap berada di jalur politik. Tidak semua aktivis ternyata bisa menjadi politikus.

Namun pengalaman memang mahal harganya. Ia tumbuh di diri kami dengan segala rimbun dan cabangnya. Mengenangnya saja, bisa jadi adalah sebuah tamasya ke masa lalu. Syukur jika bisa menghasilkan bulir-bulir bernas, yang bisa dikaji dan dipelajari oleh generasi setelah kami. Semoga.

Yogya, 2 Mei 2025

Artikel Terkait