Suatu hari di masa paling kusut dalam kehidupan masa kuliah, Hakni memutuskan pergi ke pantai. Dia mengajak Watik, pacarnya. Kegiatan yang dimaksud plesir itu, berakhir dengan debat kusir.
Pulang dari pantai, Hakni sengaja melewati jalanan sepi, berharap di salah satu pinggir jalan, dia bisa menghentikan sepeda motor dan berciuman dengan Watik. Kurang dari 100 meter sebelum kelokan yang dimaksud untuk mencicipi maksiyat, sepeda motor memang berhenti. Lebih tepatnya dihentikan oleh tiga remaja laki-laki. Mereka meminta uang.
Hakni naik pitam. Dia yakin dalam sekali gampar dan dua kali lompat, tiga remaja ringkih sok jagoan itu bakal lari terbirit-birit. Pengalaman dipukuli tentara berkali-kali, membuat nyali Hakni hanya akan gentar jika dia dilempar ular hidup.
Tapi Watik mencegah laki-laki sok beringas yang sedang kusut menghadapi hidup itu untuk mengalah. Hakni mengulungkan uang 1000 rupiah. Uang segitu, di hampir dua puluh tahun lalu, cukup untuk membeli rokok separuh bungkus. Tiga remaja itu meminta lebih. Kesabaran Hakni makin menipis. Watik makin setengah memaksa agar pacarnya tak melakukan kesalahan tolol. Akhirnya Hakni mengulungkan uang 5.000 rupiah. Ketiga remaja itu mempersilakan mereka berdua melanjutkan perjalanan.
Sepanjang perjalanan, Hakni merutuk. Awalnya, Watik hanya diam. Tapi makin mendekati kos Watik, Hakni makin meracau. Bawaannya ingin balik ke tempat semula padahal jaraknya sudah hampir mendekati 30 km.
Pertengkaran pecah persis di pagar kos Watik. Hakni yang biasanya membawa motor Watik ke kosnya, lalu esoknya menjemput untuk pergi kuliah bersama, akhirnya memilih jalan kaki sejauh kurang-lebih 3 km ke kos Rakhmadi. Sebelum pergi, Hakni mengancam akan pergi jauh. Kuliah sudah tidak menyenangkan, masa depan sudah mulai terlihat suram, dan hubungan kasih-sayang sudah mulai hambar.
Watik menangis. Hakni melangkah pergi dengan geram. Langkah kaki orang yang putus asa pada kehidupannya, dan kecewa pada nasibnya.
Begitu masuk ke kos Rakhmadi, Hakni makin meracau. Rakhmadi yang semula sedang asyik membaca buku Filsafat China, kemudian merasa kasihan. “Aku akan pergi jauuuuuh….”
“Pergi ke mana?” Rakhmadi mencoba berempati dengan cara bertanya, sambil menutup buku yang dibacanya dan menyalakan sebatang rokok.
“Pokoknya pergi jauh!”
Rakhmadi keluar. Dia balik dengan membawa dua botol bir dan dua botol anggur. Mereka minum.
“Pokoknya kalau Watik menelpon kamu, bilang saja, aku pergi jauh.”
Botol bertambah. Hari makin malam.
Paginya, hape Hakni berbunyi. Hakni masih tidur. Rakhmadi mesti kuliah pagi. Akhirnya Rakhmadi dengan kepala masih berat, mengangkat hape Hakni yang berbunyi terus-menerus.
Mendengar Rakhmadi ngobrol di telpon, Hakni bangun. Rakhmadi menutup telpon. “Aman,” ujar Rakhamdi sambil mengucir rambutnya.
“Aman gimana?”
“Watik nelpon. Udah kujawab kalau kamu pergi jauuuuh sekali…”
Muka Hakni terasa ganjil. “Kamu ngobrol sama Watik pakai hape siapa?”
“Lha ya hapemu. Hape siapa lagi? Kan hapeku rusak.”
Hakni buru-buru mandi dan bersiap mau pergi. Persis sesai Hakni keluar dari kamar mandi, suara sepeda motor Watik terdengar berhenti di muka kamar kos Rakhmadi.
“Diiiii….”
“Gimana, Niiii…”
“Kowe goblok!”