Gus Baha’ sekalipun sering guyon, beliau juga sangat sering serius. Tapi setiap kali habis ngendikan serius, beliau lalu bercanda lagi. “Saya ini, guyon saja ada sanadnya…” ujarnya suatu saat sambil terkekeh, dan disambut gemuruh tawa para santrinya.
Suatu saat, beliau berkata dengan serius. “Untuk kali ini, saya serius. Karena sudah berhubungan dengan tauhid. Ini penting saya paparkan di sini. Urusan tauhid itu dijaga betul. Jangan sembrono.
“Saya sering mendengar ada orang bilang, ‘Saya jangan mati dulu, kalau saya mati, bagaimana dengan nasib istri dan anak saya’. Lho itu pernyataan apa? Kalau kamu mati ya mati saja. Sudah kehendak Allah. Diantar beberapa orang ke kuburan, setelah dikubur lalu dilupakan orang.
“Nasib istri dan anakmu ya itu biar diurus Allah. Kan di kehidupan sehari-hari banyak kita temui, perempuan yang dulu miskin, sengsara, begitu ditinggal mati suaminya lalu menikah lagi dengan laki-laki lain hidupnya tambah baik, tambah kaya, tambah bahagia. Anaknya juga begitu, punya bapak baru yang lebih sayang, lebih terhormat, dan lebih kaya.
“Gak usah drama dan lebay. Biasa saja. Kalau kamu mati ya mati saja. Kok seakan-akan kematianmu menyebabkan nasib orang lain makin buruk. Ada-ada saja.
“Demikian juga dengan Pilpres. Kalau kamu mau nyoblos ya nyoblos saja. Gak usah sok-sokan bilang kalau Capres A terpilih lalu kamu akan sejahtera. Rakyat sejahtera. Mana ada rakyat atau orang sejahtera gara-gara presiden.
“Apalagi sampai bilang, kalau tidak Si A yang jadi Presiden bagaimana nasib agama Islam? Itu pernyataan yang sembrono. Ngawur itu. Islam itu pernah ditinggal meninggal dunia Kanjeng Nabi, para sahabat, orang-orang saleh, dan Islam makin baik karena sudah kehendak Allah. Makin banyak penganutnya. Itu sudah ketetapan Allah. Tidak ada urusannya sama capres pilihanmu.
“Milih ya milih saja. Sewajarnya. Gak usah lebay. Biasa saja. Jadi orang itu yang biasa saja.”
Manteb memang kalau Gus Baha’ yang ngendikan. Saya cocok. Jadi ya silakan yang mau ikut pilpres. Milih baik, gak milih juga baik. Jangan merasa kalau memilih terus mulia. Kalau kamu kerja bakti gak pernah, sedekah maunya ngirit, jarang membantu orang, pelit, sukanya menjelek-jelekkan orang, punya hobi memfitnah, cuma karena merasa ikut nyoblos pilpres saja kok merasa lebih mulia dibanding orang lain.
Padahal mungkin orang yang gak ikut nyoblos justru gemar bersedekah, menyantuni anak yatim, berbakti sama orangtua, rajin kerjabakti, ikut menyelamatkan lingkungan dengan berbagai program penghijauan, aktif mengajar, tidak rakus, tidak sombong, dll.
Cuma nyoblos saja kok sombong. Merasa lebih baik dan lebih mulia. Sejak kapan kebaikan dan kemuliaan manusia diukur hanya dari urusan cuma coblos-coblosan? Jadi orang kok sembrono…