Di daerah Rembang dan sekitarnya, mungkin sudah banyak yang tahu, kepiting lazimnya diberi hukum haram untuk dimakan. Penjelasannya kira-kira: karena bisa tahan hidup di dua alam. Di Rembang ada binatang mirip kepiting yang dimakan. Rajungan. Karena hidupnya hanya di laut (baca: air).
Tapi begitu ke daerah Pati ke barat, atau Tuban ke timur, setahu saya, kepiting dianggap tidak haram. Maka ketika saya pergi ke Yogya, agak heran juga melihat banyak teman muslim yang makan kepiting tanpa ragu. Bagi mereka, kepiting itu halal. Kalau sekarang sih gak akan heran, teman muslim saya bahkan banyak yang makan anjing dan babi. Saya juga pernah. Sekali lagi: pernah.
Tiga hari lalu, lewat kajian Gus Baha’, saya baru tahu bagaimana ikhtiar ulama di Rembang dalam memberi hukum pada makan kepiting. Ternyata seru juga. Jadi bukan sembarangan diberi label haram. Ada begitu banyak perdebatan, kajian, dan diskusi mendalam untuk menetapkan soal kepiting.
Menurut Gus Baha’, suatu saat Mbah Maimun Zubair waktu diskusi soal kepiting, dibantah oleh seorang kiai muda, sambil menunjukkan sebuah kitab. Sayang sebagai orang awam saya tak tahu kitab apa itu. Disebut sih di dalam pengajian Gus Baha’, tapi otak pas-pasan saya berat untuk mengingat. Dalam kitab itu, disebut binatang mirip kepiting memang haram, dan ada gambarnya. Masalahnya, setelah dihitung, jumlah kaki gambar binatang mirip kepiting itu tidak sama dengan jumlah kaki kepiting. “Jadi ini mestinya bukan kepiting, Yai…”
Mendengar itu, Mbah Maimun marah. Lalu beliau bilang: “Kalau anjing digambar dengan kaki tiga, apakah hukumnya menjadi halal?”
Sewaktu masih menjadi santri, Gus Baha’ punya teman karib. Si teman ini waktu kecil sering makan burung semacam elang, bido, alap-alap, dan sejenisnya. Binatang itu juga hukumnya haram menurut sebagian besar ulama di Rembang. Begitu temannya tahu kalau haram, suatu saat teman Gus Baha’ ini secara serius bertanya… “Gus, apa benar bido dan elang itu haram?”
“Ya benar.”
“Kenapa?”
“Karena cengkeraman kukunya sangat kuat.” (Memang begitu dasar hukumnya).
“Lho Gus, bagaimana mereka bisa hidup dan memangsa makanan kalau cengkeraman kukunya tidak kuat?”
Mendengar itu, Gus Baha’ tertawa ngakak.