Bukan hanya Bagor yang sering menginap di kos saya, sebagai orang yang paham makna silaturahmi, saya pun sering menginap di rumahnya, terutama pada akhir pekan. Itu alasan formalnya. Alasan informalnya ya saya kan butuh juga tambahan gizi.
Kalau menginap di Ndalem Kemasan, rumah Bagor yang terletak di daerah Kotagede, sudah pasti hidup saya penuh dengan “empat sehat minus susu”. Sebagai ganti susu adalah teh nasgitel. Sering sekali saya dibelikan oleh orangtua Bagor sate karang, sate sapi khas Kotagede yang lezat dan segar sekali itu. Dulu, persis di depan rumah Bagor, tinggal menyeberang jalan, terdapat salah satu sate karang terenak di Kotagede. Kadang kalau malam-malam gak bisa tidur, kami makan gemak goreng di angkringan Sabar Menanti yang moncer enaknya itu.
Kalau sudah menginap di rumah Bagor, saya sering mendapat hiburan. Saya tahu istilah Freemason ya di rumah Bagor ketika dia dan Mazpung berbincang tentang Freemason sampai menjelang tengah malam. Mereka berdua percaya bahwa Kotagede adalah pusat Freemason di dunia. Saya hanya mendengarkan saja. Namanya saja orang ge-er, masak mau dibantah. Terlebih, saya sudah dijamu sate karang, masak cuma begitu saja saya membantah.
Setelah mereka capek ngobrol soal Freemason, pas tengah malam, biasanya kami ngangkring di Sabar Menanti. Sambil saya mbrakoti gemak goreng yang lezatnya ngudubilah itu, sepasang telinga saya mendengarkan Bagor dan Mazpung ngobrol dengan tema yang berbeda yakni keris. Mereka ngomong soal luk, pamor, tangguh, dan banyak lagi hal terkait keris yang saya tak paham. Tapi jauh di lubuk hati saya, obrolan mereka soal keris itu hanyalah obrolan dua orang yang sok tahu, dipenuhi imajinasi, asumsi-asumsi dan istilah-itilah yang diperumit, supaya terlihat hebat. Tafsir atas sesuatu terasa berlebihan. Tapi ya enggak apa-apa. Nyeruput teh nasgitel sambil udud sembari mendengarkan hal begituan serasa didongengi.
Keris memang satu-satunya barang seni yang agak dikuasai Bagor. Sekarang ini dia punya lebih dari 10 keris. Harganya pun cukup mahal. Ada yang satu keris seharga sebuah sepeda motor Mio. Mahal untuk ukuran saya tentu saja. Tapi tetap bagi saya, Bagor merasa tahu dan punya keris semata supaya ada yang terlihat artistik di hidupnya.
Pernah suatu saat, setelah dua atau tiga tahun bekerja, Bagor pulang ke Yogya hanya untuk membeli keris. Saya ikut menemui penjual kerisnya bersama Mazpung. Hanya satu kalimat yang saya ingat, keris yang dibelinya itu hebat. Olahan logamnya tak bisa diketahui dengan pasti. “Nanti Njenengan akan membuktikan kalau pulang ke Jakarta. Keris ini bawa masuk saja ke kabin. Tidak akan bisa dideteksi oleh detektor logam.” ujar Sang Penjual dengan tatapan mata yang meyakinkan.
Bagor langsung membayar “mahar”-nya. Saya juga heran, kenapa disebut “mahar”, mbok disebut “harga” saja kenapa sih…
Sepanjang malam, Mazpung menimang-nimang keris yang baru beralih tangan itu. Esoknya, pas balik ke Jakarta, Bagor sengaja membawa keris itu di dalam ranselnya. Ketika melewati metal detector, benar ternyata tidak berbunyi. Bagor senang sekali. Keris ini luar biasa, batinnya. Begitu turun pesawat, naik taksi, Bagor langsung ke kantornya.
Sesampai di kantor, dia sibuk ngethuprus bercerita soal keris yang baru saja dibelinya dan bisa lolos dari metal detector. Kebetulan ada dua atau tiga orang di kantornya yang juga suka keris. Mereka kerap ngobrol bareng soal keris. Kisah tersebut segera tersebar cepat di kantor Bagor.
“Nanti pas jam makan siang, aku perlihatkan kerisnya.” ucap Bagor dengan muka agak ndangak, khas orang yang sedang tinggi hati.
Benar. Begitu jam makan siang tiba, banyak yang berkumpul di kantin menunggu Bagor. Bagor pun memanggul ranselnya seperti seorang marinir yang pulang usai memenangi pertempuran. Dia meletakkan ransel itu di atas meja. Membukanya pelan. Semua orang menahan nafas.
Tapi ternyata ransel itu kosong belaka. Hanya ada beberapa pakaian Bagor, laptop dan perantinya, serta sebuah buntalan koran di dalam plastik. Keris itu lenyap! Tak ada!
“Kok hilang ya…” ucap Bagor, setengah tidak percaya, setengah kesal, setengah malu, setengah kecewa.
“Mungkin di dalam buntalan plastik itu…” celekop salah satu temannya.
Bagor tahu persis bahwa kerisnya sebagaimana umumnya keris, tidak dibungkus plastik melainkan kain beludru. Tapi dia tetap saja membuka buntalan plastik itu, isinya berupa sambal goreng ati dan kering tempe manis kesukaannya. Kedua lauk kesukaannya itu pasti dibawakan ibunya jika dia pulang ke Kotagede.
Akhirnya Bagor menyerahkan bungkusan lauk kesukaannya ke teman-temannya, setidaknya sebagai penawar kecewa. Sementara dia lenger-lenger sendiri memikirkan bagaimana bisa keris seharga 10 juta rupiah bisa lenyap. Saat itu di awal dia bekerja, uang sebesar 10 juta rupiah adalah uang yang sangat besar.
Saat itu pula, dia menghubungi penjual keris, dan semua temannya yang suka keris, menceritakan peristiwa yang dialaminya. Kalau keris itu hilang dicuri orang jelas tidak mungkin. Ransel itu dibawa sendiri oleh Bagor. Masuk ke dalam kabin pesawat. Ketika naik taksi juga ada di sampingnya. Dunia perkerisan di seputar Bagor geger dalam waktu yang cukup lama.
Beberapa bulan kemudian, ketika mudik Lebaran, alangkah kagetnya dia ketika mendapati keris itu berada di rumahnya. Segera dia mengabari teman-temannya di dunia keris. Orang-orang segera berdatangan ke rumahnya.
Ibunya yang kebetulan sedang di rumah tampak bingung, lalu menyapa mereka. “Wah kok tumben datangnya bersamaan. Ada acaraa apa ini?”
Mazpung menjawab dengan jujur, “Ya, Bu. Mau melihat keris sakti Mas Bagor…”
“Keris sakti apa to, Mas…” sebagai penggiat Aisyiyah, tentu ibu Bagor tidak begitu percaya dengan benda-benda sakti. “Yang punya kesaktian itu hanya Gusti Allah.”
Dengan terbata-bata Bagor bercerita soal kejadian yang menimpanya kepada ibunya, di depan teman-temannya.
“Lenyap bagaimana? Datang lagi bagaimana? Jadi kejadiannya begini lho, Mas-mas semua… Saya itu dulu, waktu Nak Bagor pulang, mau memasukkan makanan kesukaannya di dalam ransel. Tapi sesak karena ada keris itu. Ya saya keluarkan saja kerisnya. Untuk apa sih bawa-bawa keris segala. Kok kayak zaman Pangeran Diponegoro saja. Ya sudah, keris itu lalu saya letakkan di lemari pakaian Nak Bagor.”
Orang-orang yang semula penuh rasa penasaran, akhirnya berubah menjadi tawa tertahan. Muka Bagor mlotrok semlotrok-mlotroknya. Untuk mengatasi itu semua, dia mengajak semua orang yang datang untuk menikmati sate karang di seberang rumahnya.
Ketika kembali ke Jakarta lagi, keris itu dibawanya. Keris itu hanya dimasukkan ke dalam tas jinjing. Untuk meyakinkan, Bagor mengecek berkali-kali. Sesampai di bandara, dengan penuh percaya diri, dia melewati pintu pemeriksaan. Alat metal detector berbunyi.
“Maaf, Pak.. Boleh diperiksa tasnya?” ujar pegawai bandara. Bagor lalu menyerahkan tasnya.
“Lho Pak, ini tidak boleh dibawa…” kata pegawai itu sambil mengeluarkan keris dari tas jinjing Bagor.
“Hei, Mas! Ati-ati kalau pegang. Yang sopan! Itu bukan sembarang keris. Itu kerisnya Pangeran Diponegoro!” Bagor seperti biasanya menggertak.
Pegawai bandara yang awalnya mau marah itu, gantian pucat. “Tapi ini menurut prosedur tak boleh dibawa, Pak… Harus dititipkan.”
“Ya enggak apa-apa. Tapi kamu bawanya harus seperti membopong anak kecil.”
Ternyata benar. Petugas itu pun pergi sambil membawa keris gak jelas itu dengan cara dibopong seperti membopong anak kecil. Semua orang yang melihat kejadian itu menggeleng-geleng kepala.
Sesampai di Jakarta, Bagor berkerumun bersama beberapa orang yang menitip barang. Semua orang dengan beragam profesi di ruangan itu mengambil pistol. Hanya Bagor satu-satunya yang mengambil keris.
Begitu dia keluar, dia dipepet oleh dua orang yang mengambil pistol. “Pak, maaf boleh bertanya?”
Bagor menghentikan langkahnya. Dua orang yang berpakaian rapi dan kelimis itu juga menghentikan langkahnya. “Kalau menurut penerawangan Bapak, apakah Pak SBY akan menjadi presiden lagi tahun depan?”
Saat itu memang di tahun berikutnya akan dihelat Pilpres yang bakal diikuti lagi oleh SBY. Bagor yang masih bingung dengan apa yang sedang terjadi, langsung menjawab, “Tentu saja. Pasti jadi lagi.”
“Oh, terimakasih, Pak…” kedua orang itu lantas menyalami dengan hangat, dan salah seorang di antara mereka menyelipkan sesuatu semacam kertas di saku jaketnya.
Sesampai di taksi, Bagor mengambil apa yang dirasakan sebagai kertas. Ternyata uang pecahan 100 dolar sebanyak 5 buah. Dalam hati dia antara senang dan ingin mengumpat. Senang karena dapat rezeki nomplok, gak suka karena merasa dianggap jadi dukun hanya karena mengambil keris di antara orang-orang yang mengambil pistol.
Sesampai di kantor, dia menelepon saya, menceritakan kejadian yang menimpanya. “Asu kok, aku dianggep dukun…”
“Lha memange ngapa nek dianggep dukun?”
Dia diam. Tak bisa menjawab.
Saya melanjutkan, “Nek menurutku, kamu ada kesempatan untuk jadi dukun.”
“Kok bisa?”
“Kerismu saja bisa menghilang berbulan-bulan dari ransel, lalu tiba-tiba sudah ada di rumahmu lagi.”
“O, bajingan!”