Setiap kali Roma kalah, saya ingin membeli jam tangan dan sepatu baru.
“Jam tangan, Mas?” tanya kawan saya.
Ya, saya ingin menemui Difra, mengajaknya menyeruput kopi Munduk di sore hari, di bawah atap langit Yogya yang mulai sering mendung, sambil mengatakan bahwa ada dua hal yang mesti diperhatikan. Pertama, semua pemain depan dan gelandangnya selalu telat turun ketika mendapatkan serangan balik. Itu bikin geram. Mereka seperti gerombolan anak mama yang pemalas, yang saling mengandalkan orang lain akan menyelesaikan masalah yang seharusnya dihadapi dengan tajam, kuat, dan berwibawa.
Kedua, Manolas dan Fazio sudah lama kontraproduktif. Manolas sangat ceroboh dan temperamental. Dia memang sesekali mencetak gol penting. Prestasi yang luarbiasa sebagai pemain belakang. Tapi pemain belakang membutuhkan mental yang tenang dan presisi. Manolas lebih mirip Santino Corleone. Seorang pemberani yang mati dengan cara tolol karena tak mampu mengontrol kemarahannya.
Sementara Fazio lembek sekali. Seperti Fredo Corleone. Orang lembek bukan hanya membahayakan dirinya sendiri, tapi juga orang lain. Dan setiap kekeliruan orang macam ini, siapapun bisa jadi tumbal atas kelemahannya. Termasuk kesebelasannya.
Seorang bek sebaiknya seperti jam tangan. Tenang. Konstan. Sekaligus tajam dan tegas.
“Terus membeli sepatu baru untuk apa?”
Aku ingin memakainya. Lalu menemui Monchi. Aku ingin dia berlutut di depan saya. Lalu saya tendangi kepalanya berkali-kali, sampai sepatu baru itu bejat dan robek. Saya akan mencopotnya, dan melempar ke muka Monchi yang sudah berlumuran darah sembari bilang, “Roma bukan Romart! Dasar tukang ijon bedebah! Kamu jual para gladiator, kamu datangkan para remaja, dan kamu sisakan pemain-pemain yang lebih mirip tiang listrik menjelang subuh. Bangsat!”