Sudah dua bulan ini, Kali tak bersemangat pergi ke sekolah. Padahal ya cuma sekolah-sekolahan. Sekolah ala anak kota supaya bisa bermain tapi membayar mahal.
Saya dan Istri menduga hal ini karena Kali “naik kelas”, dari kelas yang dilabeli “Senyum” menuju kelas yang dilabeli “Bahagia”. Teman-temannya juga hampir sama. Hanya gurunya yang berbeda. Dulu dia bersemangat. Kenapa sekarang tidak?
Saya tidak tahu, apakah ketidaksukaan atas sesuatu itu diwariskan atau tidak. Ilmu pewarisan sudah berkembang begitu cepat dan canggih. Apa yang dulu diam-diam kita sepakati sebagai sesuatu yang “kultural”, ternyata tak persis seperti itu. Gen kita menyimpan dan mewariskan banyak hal, termasuk emosi dan ingatan. Mungkin ketidaksukaan juga diwariskan. Mungkin lho ya…
Persoalannya tentu saja nanti lebih rumit, mana pihak yang harus dimenangkan, kultural atau natural. Atau dikompromikan. Pada batas mana kompromi-kompromi itu bisa terjadi sehingga meminimalisir penderitaan. Dengan metode dan tujuan yang seperti apa. Semua itu susah untuk dipikir pagi-pagi begini. Sebab ini saat yang paling nikmat menyeruput kopi sambil memikirkan hal yang meringankan hati.
Seingat saya, memang saya tidak suka sekolah. Ini juga agak tidak masuk akal karena kedua orangtua saya guru. Tapi ketidaksukaan saya ini muncul ketika saya mulai sekolah di bangku SMP. Ketika TK dan SD, sepertinya saya baik-baik saja. Bergembira.
Kepada teman dekat, saya sering bilang begini. Kita diam-diam bisa jadi orang munafik. Dulu membangkang kepada orangtua. Gemar judi dan mabuk-mabukan. Dan sederet kenakalan lain. Coba kalau kita punya anak dan melihat anak kita main judi atau mabuk-mabukan, apakah kita akan “ikhlas” dengan hal itu? Menjadi anak itu memang berat. Menjadi orangtua, ternyata lebih berat lagi. Dengan begitu, Tuhan punya posisi yang keren karena beliau tidak dilahirkan dan tidak melahirkan.
Saya boleh saja nggaya berkata sambil mengutip buku tipis para pembangkang di Indonesia berjudul “Sekolah Itu Candu”, lha ternyata ketika baru dua bulan anak saya yang belum berumur 4 tahun sudah menyatakan ketidaksukaannya sama sekolah, saya tetap kepikiran. Mau jadi apa anak saya ini… Walaupun orangtua saya dulu pasti juga kepikiran berpuluh kali lipat melihat polah saya.
Saya bisa saja berdeklamasi membacakan karya Kahlil Gibran, “Anakmu bukanlah anakmu… dia adalah anak kehidupan..” dan bla bla bla… Tapi ya tetap saja mengarahkan busur sekaligus anak panah, kalau bisa ya menyiapkan sasaran, dan “clap” tepat sasaran.
Saya kira, saya dan beberapa orangtua tetap semacam gombal mukiyo. Gayanya saja yang sok liberal tapi nyalinya tetap lembek ketika berhadapan dengan “anak badani”. Maunya ya anak biologis sekaligus anak kultural dan spiritual. Namanya juga manusia: makhluk banyak maunya.
Tapi saya bolehlah agak sedikit lega, setidaknya biarkan saya menghibur diri. Semenjak Kali rajin minta diceritai, kini dia sudah bisa bercerita sendiri. Mengarang cerita sendiri. Itu terjadi kemarin sore ketika Kali minta diceritai, saya iseng bilang: Sekarang gantian dong, Kali yang bercerita kepada bapak…
Eh, ternyata dia bercerita. Memang sebagian ceritanya adalah penggalan-penggalan cerita yang pernah saya berikan. Tapi saya tetap takjub juga melihat dia menautkan kisah-kisah itu, sebagaimana para pengarang mencampurpadukan sumber-sumber informasi.
Nah, kan… Saya kembali menjadi seorang bapak yang jauh dari segala hal berbau filosofi anak menurut Kahlil Gibran. Buktinya saya masih suka pamer soal anak saya. Padahal saya sangat marah kalau mendengar orangtua saya pamer soal diri saya.
Menjadi orangtua memang sejenis amanah. Juga sejenis taek…