Rakhmadi baru saja menenggak bir botol kecil, ketika Hakni, sohib kentalnya duduk sambil meletakkan kunci mobil dan dua bungkus rokok di atas meja makan tempat Rakhmadi menenangkan diri sesuai menonton Narcos Mexico Season 2, si tuan rumah tersentak hingga bir sedikit muncrat, dan makin muncrat lagi ketika Hakni berkata dengan tekanan berat, “Berhentilah menjadi seorang laki-laki yang bodoh.”
“Kamu ngapain sih, Niiii!” Rakhmadi menutupi ras terkejutnya sambil meletakkan botol bir agak keras sehingga seekor kucing yang semula tertidur pulas di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan itu melompat, lalu keluar lewat pintu rumah.
Bukannya menjawab, laki-laki dengan kacamata yang jumlah silindrisnya lebih banyak dibanding minusnya itu bangkit, menuju kulkas, mengambil sebotol bir, lalu dengan ujung jempol tangan kirinya, mencongkel tutup bir hingga mencelat masuk ke dalam kamar tidur Rakhmadi. Lalu laki-laki itu menuju ke arah pintu. Menatap sejenak gelap di luar. Gelap yang hampir gerimis. Ditutupnya pintu. Duduk kembali. Lalu meminum bir sampai hampir separuhnya.
Rakhmadi yang sudah akrab dengan kelakuan sohibnya itu menyulut sebatang rokok sambil tangan kirinya meraih hape.
“Ini pesan dari seorang sahabat. Hentikan kebodohanmu.”
Rakhmadi kembali tercengang. “Kebodohan apa?”
“Jangan percaya dengan teknologi.”
“Kamu ngomong apa, sih?”
“Kamu punya hape dua, ipad satu, kamu bawa ke mana-mana kayak orang paling sibuk sedunia padahal bahaya mengintai dari kebodohanmu.”
Rakhmadi benar-benar dibikin pusing. Dia tahu, di saat seperti ini, hal terbaik yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan mendengarkan.
“Aku dulu percaya teknologi. Sekarang? Nooo!” Ketika mengucapkan kata ‘nooo’ yang panjang itu, terlihat dia menyeringai. Memperlihatkan bahwa bahasa Inggris tidak kompatibel dengan bentuk mulutnya yang pernah bonyok dipukuli tentara karena mabuk sembarangan waktu masih mahasiswa dulu. Mereka berdua memang sahabat akrab sejak masih sama-sama kuliah di Yogya.
Rakhmadi berpikir sebentar lagi dia akan mendengar khotbah panjang tentang bahaya teknologi sebagaimana esai panjang Ted Kaczynski berjudul ‘Industrial Society and Its Future’. Dia bersiap untuk itu sehingga menenggak lagi birnya.
“Salah satu fitur terbodoh hape adalah pemindai sidik jari.” Hakni menurunkan nada suaranya. Dia menyulut sebatang rokok. Memejamkan mata. Mengembuskan pelang asap rokok.
Rakhmadi sudah hampir mengeluarkan pertanyaan, tapi dia sadar hal terbaik yang dilakukannya saat ini hanyalah diam. Diam dan mendengarkan.
“Fitur itu aku pikir dasyat. Tapi itu fitur goblok!” Nada Hakni meninggi lagi.
“Kok bisa?” Seperti sedang memancing ikan, Rakhmadi tahu kapan waktu yang tepat untuk menyentak joran agar matakail tidak sampai tertelan di mulut ikan, cukup mencoblos bagian mulutnya saja. Sama-sama dapat ikan, pemancing berpengalaman tak akan perlu membedah bagian kerongkongan ikan hanya untuk mengambil matakail.
“Aku tidur agak mabuk semalam. Dan istriku membangunkanku dengan menempelkan obrolanku di Whatsapp dengan perempuan penjaga tempat karaoke langgananku.”
“Kamu selingkuh sama PL?” PL itu kepanjangan dari pemandu lagu. Perempuan yang menemani orang di kamar karaoke.
“Enggak penting selingkuh atau tidak! Yang penting adalah bagaimana bisa istriku membobol sidik jariku?” Nada suara Hakni makin meninggi.
“Niiii, kamu punya urusan dengan istrimu dan PL, kenapa kok marah sama aku?” Rakhmadi menjawab dengan nada agak keras.
“Karena aku tidak mau ini terjadi kepadamu?”
“Lha ngapain terjadi? Aku gak pernah selingkuh sama PL!”
“Mungkin sama yang lain?”
“Kamu pikir semua laki-laki sama!”
“Semua laki-laki memang sama! Bedanya ada yang cerdas dan ada yang tidak.”
“Kamu masuk kategori yang mana?”
“Jelas yang cerdas. Masalahnya ada pada teknologi pemindai sidik jari!”
“Menurutmu kenapa istrimu bisa memindai sidik jarimu? Jelas tidak mungkin!”
“Mungkin! Dan itu sudah terjadi! Aku korbannya! Jadi…” Hakni berhenti sejenak. Menenggak habis birnya. Lalu melanjutkan, “… saat aku tertidur dalam keadaan mabuk sehabis karaokean semalam, istriku mengambil hapeku, lalu pelan-pelan menarik jempol tangan kananku, dan dipakai untuk menjebol hapeku sendiri…”
Sampai di situ, Rakhmadi cukup tahu apa yang terjadi. Dia hampir saja tertawa ngakak. Hingga dihentikan oleh Hakni. “Kamu jangan tertawa dulu sebelum tahu konsekuensinya…”
“Apa?”
“Aku diusir keluar dari rumah. Dan kamu harus mau memberi tumpangan kepada laki-laki sial sepertiku.”
“Oke. Menginap saja di sini. Tapi jangan sesekali menceramahiku tentang teknologi dan tentang buruknya hape…”
Hakni bangkit. Dengan langkah lemas menuju kulkas. Mengambil dua botol bir. Dijentiknya tutup dua tutup botol dengan jempolnya. Menuju meja makan. Satu diberikan kepada Rakhmadi, satu ditenggak sendiri.
“Niii….”
“Hmm…”
“Dulu Sartre pernah membuat esai yang tidak sempat diterbitkan di manapun.”
“Sartre filsuf itu?”
“Ya.”
“Tentang apa itu?”
“Tentang kebodohan laki-laki, yang berbanding lurus dengan kengacengannya. Makin dia ngaceng, kebodohannya bertambah.”
“Aku gak peduli dengan Sartre. Dan untung esai itu enggak jadi diterbitkan. Yang jelas, kamu gak akan tahu apa yang harus kamu lakukan ketika istrimu membangunkanmu hanya setelah berhasil membobol sidik jarimu dengan jempolmu sendiri, dan obrolan itu diletakkan persis di mukaku. Seketika itu, aku mendadak goblok. Tidak tahu harus melakukan apa dan menjawab bagaimana…”
“Kenapa enggak kamu ‘clear chat’ obrolan itu? Atau ganti nama samaran menjadi nama laki-laki?”
“Kamu selalu begitu. Menasihatiku kalau sudah terjadi. Gak ada gunanya. Ya kalau tahu bakal ketahuan, aku pasti bakal begini dan begitu. Enggak usah kamu kasih tahu, aku sudah tahu!”
“Niiii….”
“Hmmm…”
“Boleh aku berkomentar atas kejadian yang menimpamu?”
“Apa?”
“Kowe goblok!”