Ini kisah klasik yang mungkin sudah sering Anda dengar. Tapi tak ada salahnya saya ulang, selain siapa tahu ada yang belum pernah membaca, juga karena saya suka kisah ini.
Dua kerajaan besar sedang bertempur. Masing-masing raja memimpin langsung pertempuran yang massal, panjang, dan meletihkan. Hingga kemudian seorang kepercayaan dari salah satu raja, diam-diam membelot. Dia menghadap raja satunya lagi untuk membocorkan informasi. Tentu hal itu menyenangkan si raja yang dilapori. Setelah usai si pembelot ini melaporkan rahasia rajanya, dia bertanya ke raja di hadapannya, “Tuan Raja, dengan seluruh laporanku yang berharga ini, apa yang akan Tuan hadiahkan kepadaku?”
Raja itu lalu mencabut pedangnya. “Ini hadiah untukmu. Pedang ini akan memenggal lehermu.”
Dengan muka pucat si pembelot bersimpuh lalu bersujud. “Bagaimana Tuanku bisa tega memenggal orang yang telah memberi informasi yang sangat berguna?”
“Karena kalau kamu bisa mengkhianati rajamu, maka kamu pun pasti bisa mengkhianatiku.”
Lalu dia penggal leher si pengkhianat itu.
Pengkhianatan dalam jejak peradaban manusia termasuk perilaku yang paling tidak mendapatkan tempat. Mungkin kalau kita telisik, salah satu mekanisme yang membuat manusia gagal musnah dari bumi ini adalah kemampuan mereka dalam bekerjasama. Selain tentu saja volume otak. Dan setiap kerjasama adalah proses saling mempercayai. Kepercayaan berseberangan dengan pengkhianatan.
Kepercayaan adalah hal yang kemudian tumbuh menjadi sesuatu yang kemudian seakan terjadi begitu saja. Dia jadi mekanisme yang lebih banyak bekerja di bawah sadar. Hal itulah yang memungkinkan orang keluar rumah tanpa pernah berpikir keras bahwa semua orang di jalanan sedang berpotensi mengancam keselamatannya. Mereka percaya ketika membeli nasi goreng tanpa harus teliti memeriksa apakah ada racun di dalam makanan itu atau tidak. Mereka percaya bahwa tidak mungkin para sopir bis atau truk sengaja menabrak rumah-rumah di pinggir jalan.
Diam-diam, kita punya kadar saling percaya yang besar, yang diwariskan dari sejak manusia bisa berdiri tegak, dan karena itu mereka mulai mengandalkan kerjasama supaya tidak punah berhadapan dengan penyakit, keganasan alam, kelaparan, dan memenangi persaingan dengan para mamalia ganas.
Karena itu pula, setiap orang lebih mudah merasa segera menjadi bagian yang cepat memilih berada di pihak mana jika ada kisah pengkhianatan.
Konon, kata teman-teman saya yang pernah dipenjara, para tahanan menaruh hormat besar kepada para pemegang teguh rahasia, penanggung kesetiaan dan kepercayaan. Para pengkhianat berada di kasta terendah bersama dengan para pemerkosa.
Di masyarakat kita, para kriminal yang insyaf dapat cepat dimaafkan dan diberi tempat. Tapi tak pernah ada orang yang dengan ikhlas menyalami pengkhianat yang insyaf.
“Pengkhianat kok insyaf, ya enggak mungkin…” begitu teman saya pernah berkata sebelum belasan bogem mentahnya mendarat di muka salah satu bekas kawannya yang meminta ampun karena mengkhianatinya.
Di beberapa budaya, membunuh pengkhianat itu wajib hukumnya. Karena maaf dan insyaf hanya untuk orang-orang di luar kejinya pengkhianatan. Di tradisi mafia, tutup mulut alias “omerta”, diberi nilai yang sangat tinggi.
Di dunia pewayangan, Kumbokarna dan Wibisono, ada di dua pihak yang berbeda. Tapi sama-sama dihormati. Karna sama bermartabatnya dengan Arjuna. Burisrawa dan Dursasana masih dianggap kurawa yang biasa-biasa saja. Cakil hanyalah bandit kecil yang bikin kangen.
Tapi Sengkuni selalu jadi musuh siapapun. Sebab di dalam dirinya ada sifat-sifat sebangsa “tumbak cucukan”, memperkeruh suasana, tukang fitnah, membesar-besarkan masalah, dan pokil. Semua itu seperti rabuk bagi tumbuh suburnya rasa khianat.