Selama bertahun-tahun, saya punya persoalan yang sama dengan Bagor ketika Lebaran tiba. Lebaran yang konon adalah hari kemenangan dan kegembiraan, ternyata tak lebih dari hari-hari yang menyiksa hati.
“Lebaran sebagai hari kemenangan ki sakjane menang mungsuh sapa to, Mbut?” tanya Bagor, suatu kali, beberapa hari sebelum Lebaran tiba, dengan muka yang njempalik.
“Lha memange aku ki ustad po piye?” jawab saya sekenanya. Saya juga galau kalau mau Lebaran kok malah ditanya yang berat-berat.
“Lho kata orang-orang, bulan Puasa itu bulan penuh berkah. Lha kok meninggalkan bulan Puasa disebut hari kemenangan ki piye to…”
“Ha mbok kowe ki ra sah iyig. Takon sing aeng-aeng…”
Bagor dan saya bertahun-tahun dalam kondisi tidak baik. Kuliah gak lulus-lulus, begitu lulus kuliah, gak punya kerjaan. Sehingga kami berdua dalam situasi yang selalu terancam jika Lebaran tiba. Tidak bisa menjawab pertanyaan: kapan lulus. Setelah lulus, tak bisa menjawab pertanyaan: kerja apa.
“Jan-jane nek ra ana Lebaran rak ya rapopo ya…” Bagor masih nggerundel. “Kan kalau cuma meminta maaf gak perlu menunggu Lebaran tiba.”
“Kowe ki mbok ra sah iyig to.. Ya wis kenyataane ki kaya ngene!” seru saya sebal.
“Lha kok iyig we ra entuk? Kowe kok mulai seneng melarang-larang? Kowe kok mulai kaya Suharto?”
Malah Bagor ngajak berantem. Padahal kami sama-sama senasib sepenanggungan.
Kami sama-sama memeras pikiran untuk mengatasi persoalan yang bertahun-tahun menghantui kehidupan kami. Bagor teruji lebih jenius dibanding saya. Dia menemukan cara yang jitu. Salah satu sahabatnya bernama Proton, yang gemar sekali bercerita sampai berbelas jam, begitu salat Ied usai, langsung diminta datang ke rumah Bagor. Dengan alasan kedatangan tamu, dan memuliakan tamu, Bagor menerima kunjungan Proton di kamar. Dengan begitu, Bagor lolos dari perbincangan dan pertanyaan yang menyebalkan. Begitu ada tamu dari pihak keluarga atau tetangga, dia hanya keluar sebentar, salaman, lalu bilang, “Nyuwun sewu, dalem wonten rencang saking tebih…” lalu pamit undur diri, selanjutnya semua pertanyaan yang mestinya dijawab okeh Bagor, menjadi hal yang harus dijawab oleh orang tuanya.
Dua kali Proton menunaikan tugas mulia itu. Bagi Proton yang lebih dulu lulus dan lebih dulu bekerja, datang ke rumah Bagor ketika usai salat Ied adalah kebiasaan yang menyenangkan.
“Kowe ki asu kok…” kata saya suatu saat.
“Asu piye?”
“Kowe mengeksploitasi kehadiran Proton…”
“Ha njuk ngapa? Bocahe ya seneng dolan neng nggonku. Nyok nek aku kesel ngrungokke, tak sambi turon. Njuk liyer-liyer. Njuk keturon. Lha kaya didongengi…”
“Asu kok kowe ki…”
“Ngapa? Kowe ki asline meri ho”oh to? Kowe ra nduwe solusi to? Ha kowe pekok…”
Saya hanya diam sambil gondok.
“Njuk tamu-tamune ibumu mbok temoni to? Njuk kowe bingung njawab pertanyaan mereka? Modaro. Untalen kuwi hari kemenangan…”
Suatu saat iseng saya kambuh. Ketika saya sudah mudik dan mulai galau menjelang hari kemenangan, saya menelepon Proton. Intinya saya bilang begini, “Ton… Kowe ngerti ra bahwa Bagor ki seka keluarga besar yang terhormat ndik Kotagede?”
“Hora.” jawab Proton dari jauh.
“Nah, iki ngene… Ning iki ora ateges aku ngadu domba lho ya…”
“Ha ngapa to?”
“Ngene.. Bagor ki wis dua tahun iki melewatkan acara kunjungan neng keluarga dan sanak saudaranya.”
“Lho kok isa?”
“Lha pendhak Lebaran, kowe selalu teka neng ngomahe, mben ndina…”
“O ngono? Lha kok Bagor ra ngomong ro aku langsung ya? Aku kan wonge penakan to, Bung?”
“Ha kowe ki kan ngerti dhewe. Bagor ki cahe sungkanan. Mulane aku sing ngabari kowe…”
“Wah, matur nuwun ya, Bung. Suk nek Lebaran aku tak ra neng nggone sik.”
“Lho neng nggone ya rapopo. Ning nek wis kliwat telung dina.”
“Oke. Maturnuwun ya…”
Dan Bagor pun kembali mengalami apa yang harus saya alami ketika orang-orang melewati hari-hari yang disebut dan diseru sebagai hari kemenangan itu…
Gor, untalen kuwi hari kemenangan… Seru saya sambil menutup gagang telepon.