Sementara di Jakarta sedang terjadi perdebatan apakah rumah depe 0 rupiah benar-benar terealisasi sesuai janji atau tidak, di Yogya, seorang seniman sudah membuktikan kalau seseorang bisa membuat rumah tanpa modal rupiah. Hal itu telah dilakukan oleh seniman pantomim dari Yogya bernama Andy Sri Wahyudi.
Membeli tanah gratis
Untuk membuat rumah tentu butuh tanah. Andy melakukannya dengan cara berikut ini. Dia mencari temannya yang punya tanah luas, dan terletak agak jauh dari permukiman penduduk. Dia lalu mendatangi si teman sambil nggedabrus soal demit dan setan yang ada di sekeliling rumah itu. Plus tentang pentingnya seseorang bergaul intens dengan seorang seniman agar punya asupan batin yang jelas dan kontinyu.
Setelah sekali dua diberi kampanye soal demit dan seniman, akhirnya si teman luluh juga. Walhasil, dia mengiris tanahnya yang cukup luas untuk Andy. Satu masalah penting kelar.
Desain mahal tapi gratis
Setelah berhasil ‘merebut’ sebagian tanah temannya, hal yang segera dilakukan Andy adalah bagaimana caranya bisa mendapatkan desain rumah dari seniman terkenal. Akhirnya dia datang ke kawannya yang lain, seorang perupa yang pintar mendesain rumah. Dengan dalih ingin membuat semacam tempat nenepi bagi seniman-seniman yang stres, akhirnya dia mendapatkan desain rumah yang indah, dan tentu saja gratis.
Fondasi dengan gaya ngapusi
Akhirnya mulailah Andy bersiap membuat rumah. Hal pertama yang dilakukan adalah membuat fondasi. Kali ini kiatnya adalah dengan cara seolah-olah mengajak diskusi beberapa kawannya. Andy meyakinkan mereka kalau dia punya uang 50 juta apakah cukup untuk membangun rumah atau tidak. Beberapa temannya kemudian bilang, pasti kurang. “Ya kalau kurang ditambahi dong. Kalau cuma ngomong kurang tanpa memberi solusi itu namanya teman cap kopet!”
Akhinya beberapa temannya mulai memberi tambahan. Ada yang menyumbang sejuta, tapi tak sedikit yang menyumbang 5 juta rupiah. Setelah uang saweran terkumpul, mulailah dia mendatangkan tukang, dan mengeduk fondasi. Apakah dia benar bermodal uang 50 juta rupiah? Tentu saja tidak. Itu hanya apus-apus saja.
Syukuran berbalut pisuhan
Sebelum fondasi dikeduk, Andy mengundang beberapa temannya untuk syukuran pengedukan fondasi. “Tapi tahu sendiri lho ya.. Duit saya ndak banyak. Saya tak bisa menyediakan makanan banyak. Tolong kalau datang, bawa makanan sendiri-sendiri.”
Teman-temannya datang. Mereka membawa aneka makanan. Ada yang nasi plus lauk, ada yang membawa gorengan, ada yang membawa udud dan minuman. Komplet.
Dua orang yang datang, seorang perupa Alfi-Limbak Malintang Satigrenengan sama penata panggung ternama bernama Ong. “Pak Ong, ini makanan yang punya Andy yang mana ya?”
Pak Ong mencermati makanan yang terhidang di tikar. Segera dia bertanya ke Andy, “Ndy, pangananmu yang mana?”
“Lha ini saja sudah cukup kok. Tidak baik semuanya berlebihan…” ucap laki-laki brengsek itu dengan tingkat ketenangan yang tinggi. Mendengar jawaban Andy, semua orang yang datang misuh-misuh.
Tembok berdiri dengan pola muka tembok
Akhirnya setelah pondasi rampung, berlanjut ke tembok. Mulailah dia mendatangi para temannya meminta sumbangan. Teman-temannya yang sudah mulai mencium gelagat buruk, mengurangi porsi sumbangan. Kali ini, mereka ada yang menyumbang 100 ribu, paling banter sejuta rupiah. Tentu saja kurang. Tapi dia putuskan untuk membangun tembok rumah dengan modal yang terkumpul.
Sembari tembok rumah dibangun, setiap hari dia berkeliling ke rumah teman-temannya. Dia memakai berbagai pola, paling lazim adalah bilang rokoknya habis. Sehingga mau tak mau temannya membelikan. Kadang satu bungkus, tapi lebih sering dua bungkus. Dalam sehari Andy bisa membawa pulang 5 bungkus rokok. Rokok itu dijualnya ke kios dekat tempat kosnya. Uang itu dipakai untuk menambal kekurangan dana pembangunan tembok.
Karena tidak cukup, dia lalu mulai minta diajak pentas. Tentu saja yang didatangi seniman besar macam Butet Kartaredjasa dan Agus Noor. “Kalau tidak mau mengajakku pentas, berarti omong kosong dengan solidaritas seniman.”
Mau tidak mau mereka berdua akhirnya selalu mengajak Andy. Tapi setiap kali fee mau ditransfer, selalu ada kalimat: “Ingat lho, saya sedang membangun rumah. Saya sudah bantu pertunjukan situ terlihat bagus. Itu karena ada aku lho… Maka nransfernya mohon dilebihkan.”
Dari situlah tembok kokoh rumahnya berdiri.
Menata atap dengan jurus memelas
Tibalah kini, rumah itu mesti diberi atap. Kali ini Andy memakai gaya sederhana tapi jitu. Dia memotret rumahnya yang setengah jadi, lalu membagikan ke semua temannya sambil diberi kalimat: “Apakah kalian tega, kalau aku tidur di rumah itu tanpa atap? Aku akan kehujanan. Aku akan gampang sakit. Tegakah kalian?”
Akhirnya hampir semua temannya menransfer uang. Kali ini terkumpul banyak sekali. Di mana-mana, menjual kemiskinan dan rasa memelas, selalu jitu memancing orang menyumbang.
Seorang kawan yang jago menghitung, dia geleng-geleng kepala. Dia bilang begini, “Andy itu bukan hanya berhasil membuat rumah dengan gratis. Tapi juga bathi. Alias untung.”
Saya yakin, sebentar lagi pasti akan ada kiatnya ketika nanti harus memasang keramik, bahkan ketika mengisi rumah itu dengan furnitur.
Jadi bagi Anda yang merasa kreatif dan tak punya malu, langkah Andy bisa dicontoh. Siapa tahu gaya ini bisa diadopsi untuk kampanye presiden: bikin rumah, gratis, bahkan masih untung.