Lepas Magrib ketika saya hendak belanja perkakas untuk klub namplek, mendadak istri saya memberi bungkusan. Langsung saya tahu ini kiriman dari Agus Mulyadi. Betapa gembiranya hati saya…
Saya menunda keberangkatan. Bungkusan saya robek, langsung saya baca. Betapa tidak adilnya saya. Hampir tiap hari saya mendapatkan kiriman buku dari para penulis maupun kenalan saya. Jarang sekali langsung saya buka. Jarang pula langsung saya baca. Khusus buku Mulyadi beda karena saya termasuk penggemarnya.
Saya hitung dulu jumlah tulisan yang ada di buku tersebut. Ada 39 tulisan, sudah termasuk prolog dan epilog. Kalau ternyata ada 40 tulisan berarti saya salah hitung. Gitu saja kok mrongos, eh kok repot…
Kelebihan Mulyadi yang kedua, dan yang penting menurut saya adalah kemampuan membuat judul yang menarik. Saya comot beberapa judul ya… Tawakal Kaum Gentho; Kawat Gigi, Rokok, dan Rasa Syukur; Pengkhianatan 212; Asmara Emak Bapak; Belajar Bersyukur dalam Berasmara; Pesugihan Terlarang. Karena buku kali ini sama seperti buku pertamanya yakni kumpulan tulisan sehingga pembaca bisa memilih mana yang lebih suka duluan, saya sampai sempat bingung. Semua judul menarik. O ya, kelebihan pertama Mulyadi sebelum membuat judul adalah gaya tarik giginya. Sudaaaaah!
Mulyadi juga matang dalam membuat paragraf pembuka. Di “ucapan terimakasih”, dia membuka dengan begini: “Bagi saya, buku ini tak ubahnya seperti laporan karya tulis darma wisata, sehingga saya wajib mencantumkan ucapan terima kasih kepada seluruh entitas yang sudah berjasa membantu saya untuk menyukseskan proses pembuatan buku ini.”
Pembaca langsung ditarik urat ketawanya dengan pilihan “darma wisata”. Kuno sekali tapi pas. Tapi sayang, kenapa harus ada kata “entitas” di situ. Ya tidak apa-apa sih, Mulyadi juga berhak ngintelektuil. O ya, nama saya pasti ada di deretan terimakasih itu. Kan dia tahu, saya penggemar garis kerasnya.
Nggaplekinya, sempat juga Mulyadi mbribik cewek yang ditaksirnya di ucapan terimakasih ini. Dia tulis seperti ini: “Terima kasih teruntuk mbak spesial nun jauh di sana (NZ), yang selalu menjadi motivasi tersendiri bagi saya untuk bisa menyelesaikan karya saya yang satu ini. Saya suka sama njenengan Mbak, cuma saya belum berani bilang… besok deh kapan-kapan kalau ada waktu.”
Kalau saya editornya, frasa “nun jauh di sana” saya tambah dengan “di kuburan keramat” atau “di puncak monas” atau sekalian seperti kiriman surat pembaca di jaman dulu: di gubuk penderitaan, di pesanggrahan air mata, di istana kebahagiaan, dll. Tapi bribikan model begini bagus. Pertama, sangat keren bagi saya kalau ada orang mbribik gebetannya lewat buku. Mantap! Kedua, memberi kesempatan bagi pihat yang digebet untuk menyiapkan kalimat dan logika penolakan yang bagus, jika suatu saat Mulyadi menyatakan secara langsung. NZ ini dugaan saya adalah Nazaruddin.
Epilog buku ini singkat. Hanya 4 paragraf. Dibuat seakan-akan penuh ketergesaan sehingga secara konsep tidak mapan. Agak sayang kalau buku ini dibaca urut dari depan ke belakang, mestinya epilog Mulyadi bisa memberi sentuhan pamungkas dengan baik.
Lanjut. Menurut hemat saya sebagai insan yang agak bisa menulis dan agak lama berkecimpung di dunia buku, kalimat-kalimat di sampul belakang buku ini bisa dibuat lebih menarik lagi. Biasanya, sampul belakang buku dibuat jauh lebih bagus dari bukunya. Tapi untuk buku kedua Mulyadi ini, isinya jauh lebih bagus dari sampul belakangnya.
Nah, lalu bagaimana dengan isinya? Lho ya ini saya sedang dalam proses membaca. Tapi menurut saya, sebaiknya Anda segera pula ke toko buku untuk membeli buku ini. Saya jamin bagus kecuali bagian “epilog” dan “tentang penulis”. Kalau tidak bagus, silakan protes ke saya. Jangan bandingkan dengan penulis seleb di genre ini. Saya kira Pandji atau Raditya Dika ya tidak bisa didudukkan satu level denga Mulyadi. Jauh… Tulisan-tulisan Mulyadi lebih menggigit, lebih lucu, lebih “agraris” dibanding kedua penulis yang saya sebut itu. Mulyadi itu beda. Membaca tulisan Mulyadi itu seperti makan gorengan hangat di saat santai, sambil nyeplusi cabe, dan nyeruput teh nasgitel. Warbyasah!
Selamat membaca dan jangan lupa sediakan kanebo. Untuk menadahi liur Anda yang menetes karena saking kepingkel-pingkelnya Anda.