Tragedi, dengan segala keberatan dan kesanggupan kita untuk menerima kehadirannya, adalah sebuah kisah yang kuat. Ia memilin kita dengan sejumlah hal yang pelik: ketakutan, imajinasi, rasa putus asa, kepercayaan diri, serentet kesadaran yang penuh keraguan. Tapi pada akhirnya, kita menghadapinya, dengan atau tanpa persiapan, dengan atau tanpa solusi.
Sikap kebanyakan dari kita terhadap tregedi, mungkin seperti sikap kita terhadap kiamat, kematian dan bencana alam. Sejak kesadaran anak manusia bahwa dirinya hidup, segera atau bahkan berbarengan dengan itu, kesadaran akan kematian juga muncul. Sejak kesadaran kita akan sebuah dunia, diiringi dengan pengetahuan akan kehancuran dunia. Tetapi kita selalu meletakkannya ‘di sana’, padahal semua itu melekat ‘di sini’. Juga mungkin bencana.
Saat saya masih kecil, guru mengaji saya selalu berkisah tentang kiamat. Tetapi pada saat itu pula, ia mengajarkan bahwa, selama kita terus memeluk agama dengan baik, menyeru nama Tuhan, maka kiamat itu tidak akan datang di saat kita hidup. Kiamat, sekalipun sudah jelas dibilang begitu dekat, selalu berusaha untuk dijauhkan dengan syarat.
Begitu juga dengan kematian. Kata yang lebih sering membuat kita murung ini, karena segenap imajinasi kita atasnya selalu majal, juga digeser untuk menjauh dari kita. Padahal ia melekat pada hidup itu sendiri. Kesadaran psikologis kita kerap berusaha menentramkan diri sendiri bahwa kematian selalu identik dengan ukuran umur yang sepuh. Sehingga kita yang merasa masih muda, kematian terasa masih jauh. Bukan hanya itu, kalaupun toh kemudian kematian itu benar-benar ada, kita selalu diiming-imingi dan dijanjikan bahwa ada kehidupan setelah kematian. Bisa berupa apa saja. Terlahir kembali, atau hidup di dalam neraka atau surga. Intinya: kita tetap hidup lagi.
Di luar sabda kitab suci, yang manasuka sifatnya sebab boleh percaya atau tidak, kita gagap untuk mengandaikan bahwa di luar kematian tidak ada apa-apa lagi. Rampung. Tuntas. Terhenti.
Tetapi manusia tidak mau seperti itu. Di luar kematian harus ada kehidupan lagi. Sebab kita tidak berani membayangkan bahwa hidup dengan segala suka dukanya ini, harus berakhir pada ‘bukan apa-apa lagi’. Keabadian, dengan segala variannya, adalah pilihan terbaik setelah kematian yang tidak kita sukai itu.
Saya tidak akan membahas bahwa mungkin kesadaran akan hal itu membantu kita meletakkan norma-norma yang dianggap baik, sehingga di hidup ini orang tidak boleh sembarangan merusak, mencuri, membunuh, bertindak bodoh dll, sebab akan ada konsekuensinya ketika kita usai menutup napas masing-masing.
Tetapi bagi beberapa orang yang terobsesi dengan kematian, ada juga yang melawan arus. Keabadian dan segala tetek bengeknya di balik kematian, justru merusak rahasia kematian itu sendiri.
Demikian halnya dengan bencana, atau lebih tepat di dalam konteks tulisan ini: bencana alam. Saya mempunyai sederet kisah tentang ini, yang layak untuk saya paparkan.
***
Pada saat Yogya diguncang gempa bumi yang dahsyat, saya ikut mengalaminya. Tanah yang bergerak bergelombang, beberapa bangunan yang roboh, teriakan banyak orang di sekliling saya yang menyeru Tuhan, membuat saya panik. Bohong kalau saya bilang bahwa saya tidak takut dan panik. Namun yang ada di pikiran saya saat itu adalah, “Nah benar kan? Kiamat akhirnya datang juga. Seharusnya saya percaya bahwa itu bisa terjadi kapan saja.”
Usai itu, dua bulan lamanya, setiap hari, saya berangkat subuh dan pulang tengah malam untuk memberi bantuan di daerah Bantul lalu diteruskan ke daerah Gunung Kidul. Sebagai orang yang datang bukan sebagai korban, saya masih bisa menyaksikan gempa-gempa susulan terus terjadi di tempat-tempat yang saya datangi. Orang-orang panik. Saya berusaha menenangkan mereka, padahal saya juga panik. Selama hampir 6 bulan, saya tidur dengan helm, senter dan kunci sepeda motor di sisi saya, dan pintu rumah kontrakan saya tidak pernah saya kunci.
Setiap kali saya datang ke daerah-daerah di mana saya ikut membantu menyuplai bantuan, saya mencoba bertanya, apa yang mereka pikir saat gempa terjadi? Hampir semua orang yang saya tanya menjawab: kiamat sedang terjadi.
Pada tahun 2008, saya berkesempatan untuk menulis laporan 4 tahun seusai tsunami menerjang wilayah Aceh dan Nias. Saya mewawancari sekitar 150 orang, dari mulai para korban yang masih hidup sampai para relawan yang datang pertama kali ke sana. Pertanyaan yang sama, sering saya ajukan. Jawabannya serupa: pada saat peristiwa itu terjadi, hampir sebagian besar dari mereka bilang kalau waktu itu mereka juga berpikir bahwa kiamat sedang berlangsung.
Memang, bencana alam itu menjadi ingatan kolektif banyak orang. Tetapi manusia punya mekanisme diri yang disebut ‘lupa’. Saya menganggapnya, rasa lupa itu selain mencoba menyembuhkan diri dari trauma, juga sebagai sebuah upaya untuk menggeser bencana alam itu menjauh lagi. Maka tidak heran, dua tahun pasca-gempa di Yogya, bangunan-bangunan tembok bahkan bertingkat, banyak sekali tumbuh di Bantul, di tempat-tempat di mana bahan bangunan itu tidak teruji menghadapi gempa. Bahan bangunan yang teruji oleh gempa, seperti dari bambu dan kayu, yang ketika gempa baru usai sempat menjadi primadona dan wacana yang meluas, hanya saya dapati di segelintir tempat saja.
Saya telah datang di banyak tempat di mana bencana alam melanda. Kalau boleh saya sebut, selain Aceh, Nias dan Bantul, saya juga datang ke beberapa daerah di Sumatra, beberapa daerah di Jawa Timur, beberapa daerah di Sulawesi Selatan, saya juga mewawancarai beberapa korban bencana alam di Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Tetapi yang paling menarik adalah ketika saya datang ke Kuala Bubon, sebuah tempat di Meulaboh, Aceh. Di kampung itu, orang-orang tidak mau pergi dari tempatnya yang tepat di pinggir laut. Mereka enggan dipindah. Sebab memindah mereka jauh dari laut itu sama halnya dengan ‘membunuh’ mereka perlahan-lahan. “Kami anak-anak penyu, tidak bisa hidup jauh dari laut,” begitu ungkap mereka.
Bencana alam di kepala saya menjadi lebih rumit lagi. Urusannya menjadi tidak gampang. Bahkan ketika kemudian istilah Disaster Risk Reduction (DRR), menjadi tema yang tenar di Indonesia untuk persoalan bencana alam.
Indonesia adalah wilayah cincin api (ring of fire), itu sudah banyak diketahui. Tetapi secara sejarah, Indonesia juga ‘menyumbang’ bencana yang bersekala internasional. Dunia mencatat, ada 5 buah letusan gunung dalam skala gigantik yang pernah terjadi di bumi ini. Indonesia menyumbang 3 gunung; Gunung Toba (urutan pertama), Gunung Tambora (urutan kedua) dan Gunung Krakatau (urutan ketiga). Untuk urutan ketiga, ditempati oleh Gunung Taupo di Selandia Baru. Dan untuk urutan keempat ditempati Gunung Katmai di Alaska.
Letusan Gunung Toba lah satu-satunya yang tidak bisa diperkirakan dengan tepat kapan meletusnya. Namun banyak ahli menyatakan bahwa kemungkinan besar gunung di Pulau Sumatra itu meletus terakhir kali sekaligus letusan paling dahsyat terjadi kurang-lebih 74.000 tahun yang lalu, dan memberi kenang-kenangan kepada kita sebuah danau terluas di dunia yakni Danau Toba, dengan panjang kira-kira 100 kilometer dan lebar kira-kira 30 kilometer. Dari jejak peninggalan hasil letusan itu, maka tidak heran jika ada beberapa ahli yang berpendapat, gara-gara letusan Gunung Toba itu, populasi manusia di dunia tinggal 20%.
Sedangkan letusan Gunung Tambora, sudah bisa dicatat oleh manusia. Sebab Gunung yang terletak di Pulau Sumbawa itu meletus pada bulan April tahun 1815, dengan memakan korban lebih dari 71.000 orang.
Sementara Gunung Krakatau meletus pada hari Senin, tanggal 27 Agustus pada tahun 1883. Simon Winchester, seorang penulis ternama, membuat buku yang luarbiasa menarik soal letusan Krakatau dengan judul Krakatoa: The Day The World Exploded yang terbit tahun 2003, dan diterjemahkan dengan apik ke dalam bahasa Indonesia tahun 2010 oleh Penerbit Elex Media Komputindo.
Menarik, sekaligus juga mungkin menakutkan, para ahli gunung rupanya bersepakat bahwa tidak ada gunung yang benar-benar ‘tidur’. Penelitian tentang Gunung Toba (lebih tepatnya sekarang disebut Danau Toba), Gunung Tambora dan apalagi Gunung Krakatau, menunjukkan bahwa ketiga gunung itu masih aktif. Itu artinya, tinggal soal waktu saja, ketiga gunung tersebut akan meletus lagi. Ditambah, beberapa ahli menemukan gunung besar di bawah laut, di selatan wilayah Bengkulu, yang juga aktif dan terus tumbuh. Jika gunung ini meletus, belum ada seorang ahli pun yang bisa memperkirakan besaran imbasnya.
Maka bencana alam dalam skala gigantik, sebetulnya terus mengintai kita yang hidup di Indonesia dan di dunia. Tetapi seperti kematian, juga kiamat, ancaman itu digusah jauh-jauh dari realitas kehidupan kita sekarang ini. Kira-kira kita bisa bilang: Mungkin gunung-gunung itu akan meletus lagi, akan menghancurkan sebagian besar dunia, tetapi tidak di saat kami masih hidup.
***
Soal bencana besar, saat saya masih kecil, jauh hari sebelum saya mendengar dan membaca soal tiga bencana besar di Indonesia dengan meletusnya ketiga gunung tersebut, terlebih dahulu saya mendengar kisah tentang Nabi Nuh (Noah). Kisah itu ada bukan hanya di Al Quran, tetapi juga di Taurat dan Injil.
Konon Tuhan murka karena ajaran Nuh tidak diterima oleh orang-orang di sekitarnya. Kemudian Tuhan mengutus Nuh untuk membuat sebuah kapal besar, yang di dalamnya selain diisi oleh manusia, juga dengan berbagai jenis binatang. Tuhan hendak mengirim bah untuk menghukum kaum Nuh yang tidak mau menerima ajarannya. Kapal pun jadi, bah pun terkirim. Lalu kembali, Nuh membuat sebuah peradaban dengan manusia-manusia di kapalnya beserta hewan-hewan yang turut serta. Peristiwa itu konon, sekali lagi konon, terjadi pada 3650 tahun SM.
Kisah Nabi Nuh tak urung menjadi obyek kajian bagi banyak peneliti. Ada banyak versi tentang di mana kapal Nabi Nuh ini terdampar. Namun versi terbanyak dan terkuat, kapal ini terdampar di Ararat, Turki. Dan sampai sekarang masih menjadi obyek kajian para peneliti. Konon kapal itu mempunyai panjang 450 kaki, dengan lebar 75 kaki dan tinggi 45 kaki. Kapal tersebut bertingkat tiga, yang diduga, tingkat pertama dijadikan tempat untuk binatang-binatang, tingkat kedua diperuntukkan bagi manusia, dan tingkat ketiga untuk burung-burung. Benar tidaknya soal itu, saya tidak tahu.
Kisah tentang Nuh inilah yang mengilhami Theresia Agustina Sitompul, perupa muda dari Yogyakarta, untuk mencoba membuat karya berdasarkan imajinasi dan tafsirnya atas kisah tersebut. Tentu sebagai seorang seniman, kisah Nuh itu hanya sebagai bahan dasar saja, selebihnya, imajinasi dan ketrampilannya yang mengambil kemudi atas tafsir terhadap kisah Nuh.
There, tinggal di Yogya, lebih tepatnya di Bantul. Ia berada di kota kecil pusat perupa Yogya itu saat gempa bumi melanda Yogya. Dan tentu saja, ia mengikuti berbagai bencana alam yang melanda di Indonesia akhir-akhir ini. Secara psikologis, menurut saya, ia seperti kebanyakan dari kita yang tinggal di Indonesia menyadari betul, potensi bencana dalam bentuk apapun, bisa datang seketika.
Kapal Nuh (Noah Ark), disikapi berbeda dengan yang selama ini ia dengar dan baca lewat kitab sucinya. Bagi There, seandainya bencana itu terjadi, maka ia membuat kapal dalam bentuk yang lebih futuristik, seperti sebuah kapsul, yang selain dilengkapi dengan dayung berupa tangan, juga dilengkapi dengan roda. Sehingga kapal ini bisa melaju bukan hanya di laut melainkan juga berada di darat (amfibi).
Dan bagi There, karya yang merupakan sekaligus untuk obyek tesisnya di Program Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini, tidak diisi manusia dengan binatang, melainkan manusia dengan biji-bijian. Baginya, persoalan degradasi lingkungan, pembalakan liar, terancam punahnya berbagai jenis pohon yang penting bagi kehidupan manusia, mengganggu pikirannya.
Maka, selain ia melakukan riset tentang bagaimana jenis kapal yang tepat seandainya terjadi lagi bencana yang menyerupai apa yang menimpa Nuh, ia juga banyak melakukan riset tentang biji-bijian beserta kegunaannya.
Di dalam karyanya ini, There juga membuat karya-karya lain berupa karya cetak logam (sesuai dengan medium yang selama ini akrab digelutinya), dan karya tiga dimensi lain berupa pelampung yang dilengkapi dengan biji-bijian.
Di dalam karya seni, gagasan, riset dan nalar saja tidak cukup. Faktor eksekusi menjadi sebuah karya seni juga sangat penting. Dengan pengalamannya yang cukup lama menggeluti berbagai medium seni, apa yang digagasnya bisa dieksekusi dengan apik, rapi dan menarik.
Tetapi bagi saya yang terpenting, There berada di sebuah barisan, di mana ketika bencana alam terjadi, ia memilih untuk bertahan dan meneruskan kehidupan.
***
Mungkin karena terobsesi dengan kiamat, dalam konteks bencana besar sekali, dan apa yang kelak dilakukan oleh manusia, beberapa kali saya membuat sebuah diskusi kecil dengan teman-teman saya.
Di Jakarta, kira-kira setahun yang lalu, seusai makan malam di rumah teman yang dihadiri oleh sekitar 10 orang, saya bertanya dengan serius: Jika hari ini muncul pengumuman dari otoritas pemerintah dan intelektual bahwa setahun lagi akan terjadi kiamat (sekali lagi bukan kiamat akhir dunia), dan mereka sudah angkat tangan untuk mengatasinya, apa kira-kira yang akan kalian lakukan?
Hampir sebagian besar menjawab, bahwa mereka akan mencoba untuk bertahan sebagaimana Nuh bertahan. Hidup harus dilanjutkan. Hanya ada satu orang, dua termasuk saya, yang menjawab bahwa kami berdua tidak akan melakukan apa-apa.
Bagi kami berdua waktu itu, mungkin kami bisa saja ikut yang lain untuk mempersiapkan semacam kapal Nuh, lalu selamat. Tetapi bagi kami berdua, alangkah beratnya jika orang-orang di kapal itu selamat, lalu membangung lagi sebuah peradaban. Kami berdua jauh lebih sulit membayangkan hal itu daripada mencoba menikmatinya, lalu karam bersama banyak orang yang lain.
Jika There berada di meja makan malam itu bersama kami, ia tentu akan ikut sebagian besar orang. Ia memilih menyelamatkan hidup, apapun risikonya, dan membangun lagi peradaban, betapapun sunyi dan beratnya hal itu.
Sepintas, obrolan itu tampak seperti omong kosong. Tapi sejarah mencatat bahwa besar kemungkinan hal itu akan terjadi, baik sudah diketahui sebelumnya maupun tidak. Hanya saja, kita lebih suka menyingkirkannya jauh-jauh dari pikiran kita. Sebab kita tidak suka tragedi, dan tidak suka kisah yang kuat.
oOo