Sambil metengkrang, salah satu laki-laki yang paling menyebalkan di bumi Mentaram ini ndudut udud saya di atas meja. Dan tanpa minta izin, dia menyeruput kopi saya.
“Jadi gini, Mas… saya mampir ke sini ini bukan tanpa alasan. Saya merasa diperintah oleh Gusti Allah untuk mengunjungi Sampeyan…” Tanpa saya tanya, Rio langsung ngecuprus, bahkan tanpa melepas topinya yang itu-itu saja.
“Di tengah jalan, saya mampir Alfamart untuk beli rokok. Di sana, saya menyaksikan seorang ibu sedang membujuk anak perempuannya yang merajuk…”
Di luar hujan turun. Azan Isya terdengar.
“Perempuan kecil itu mungkin usianya baru 5 tahun.” Saya langsung teringat Kali, anak laki-laki saya yang berusia 4,5 tahun.
“Anak itu menangis minta dibelikan es krim. Sementara ibunya bilang kalau dia tak punya uang. Si Ibu hanya punya uang untuk membeli mi instan 3 biji, untuk makan malam keluarga mereka. Saya penasaran. Kasihan kan, Mas? Saya mendekati mereka berdua sambil mencuri dengar. Dari sana saya tahu kalau bapak si anak ini adalah kuli bangunan…”
Hujan di luar makin menderas. Saya mulai mendengarkan kisah itu dengan khusyuk.
“Akhirnya saya putuskan untuk mendekati mereka berdua. Lalu saya tanya, es krim mana yang mau dibeli? Si Anak kemudian menunjukkan es krim di sebuah kotak penyimpanan. Saya mengambil satu, sambil bilang kepadanya akan saya bayar dulu di kasir. Ibu anak itu terharu. Sampai menitikkan airmata…
“Balik dari kasir, saya jongkok. Saya buka bungkus es krim itu. Begitu Si Anak siap menerima es krim itu… Hap! Langsung es krim itu saya makan! Saya makan dengan lahap!”
Saya tertegun mendengar cerita itu.
“Mas tahu wajah mereka berdua? Lucuuuu! Sumpah lucu. Saya habiskan es krim itu, dan saya pergi. Semua orang melihat ke arah saya. Tapi saya cuek.”
Saya tercekat mendengar kisah itu.
“Mereka harus tahu bahwa di dunia ini, banyak orang kejam sepertiku. Bahkan lebih kejam lagi juga banyak!” Dia tertawa terbahak-bahak.
Saya tersenyum kecut. Kemudian pergi ke dapur, mengambil air minum. Setelah kembali duduk, laki-laki yang dikenal sebagai dosen universitas terbesar di Yogya ini masih cekikikan.
Hujan reda. Tidak lama kemudian dia pamitan pulang.
“Kok cepat pulang?” tanya saya dengan nada ampang.
“Saya ingin membagikan kisah lucu ini kepada teman-teman sambil gitaran.” Lalu dia pergi, balik sebentar, mengambil kotak rokok saya. “Ini untukku ya, Mas.” ujarnya sambil memasukkan bungkus rokok saya ke dalam saku jaketnya.
Saya mengantarnya ke pagar. Tiba-tiba dia kaget. “Wah, ban motorku gembos…”
Saya melihat ke arah ban sepeda motornya. Roda bagian belakangnya kempes. “Di dekat sini ada tukang tambal ban.” Lalu saya menunjukkan arah tukang tambal ban.
Rio menuntun sepeda motornya, mengikuti petunjuk yang saya berikan. Saya masuk ke dalam rumah. Hujan turun lebat. Saya pergi ke dapur, menutup pintu samping, sambil melirik pisau yang tadi saya pakai untuk menusuk ban sepeda motor Rio ketika saya pamit mengambil air minum.
Saya kembali ke ruang depan. Hape saya berdering terus. Telepon dari Rio. Saya biarkan. Saya membatin, dia cari seminggu pun tukang tambal ban yang sesuai arahan saya tak ada. Jalan yang kutunjukkan adalah jalan menuju makam desa.
Saya menyeruput kopi sambil membayangkan Rio ndepipis kehujanan di dekat kuburan, saat hujan turun deras, hampir jam sembilan malam.