Alkisah, tiga pendekar sakti yang telah melanglang buana selama hampir 20 tahun, sowan ke Mahaguru mereka. Dulu, mereka satu angkatan. Namun mereka pergi ke penjuru yang berbeda.
Mahaguru mereka memang menitahkan supaya mereka turba saat usai menjalani pendidikan di padepokannya. Kemudian diminta kembali di saat yang bersamaan. Saat ini.
Ketiga pendekar itu duduk santai di gardu yang berada di luar pertapaan Sang Mahaguru. Pintu padepokan masih tertutup. Sekalipun mereka saling kenal, satu guru, tapi terlihat jelas rivalitas di wajah mereka.
“Pendekar Merah, apakah kau masih makan anjing?” tak sabar atas kebisuan, seorang pendekar berjubah kuning bertanya ke pendekar berjubah merah.
“Masih.” jawab Pendekar Merah datar, dengan muka tanpa menoleh sedikit pun ke arah Pendekar Kuning.
“Tidakkah kamu tahu bahwa anjing itu binatang yang lucu? Tega sekali engkau memakannya! Anjing itu sahabat manusia. Hina sekali mulut, kerongkongan dan perutmu!” suara Pendekar Kuning.
Sepasang mata Pendekar Merah langsung melirik tajam ke arah Pendekar Kuning. Suaranya gemetar seperti menahan amarah, “Kau masih makan kambing, bukan? Tega sekali! Kambing bukan hanya lucu tapi juga berguna buat manusia karena kotorannya menjadi bahan pupuk terbaik buat para petani!”
Suasana tegang. Saling lirik terjadi. Angin kering dari utara bertiup. Udara begitu lengas. Matahari mulai turun, mendekati bayang gunung di arah Barat.
Tiba-tiba pendekar berjubah hijau tertawa terbahak-bahak. Tawa yang dibuat-buat. “He, he, he, he, he…. dasar dua pendekar bodoh. Hanya nama kalian saja yang terbang terbawa angin. Tapi otak kalian tetap saja dungu. Contohlah aku! Sudah 10 tahun aku hanya makan tanaman dan buah-buahan!”
Muka kedua pendekar yang lain memerah. Masing-masing mulai memegang gagang pedang masing-masing dengan erat.
“Kau tolol sekali! Bukankah tanaman juga punya nyawa? Potonglah bambu di saat ia sedang menumbuhkan anakannya, maka kau akan tahu jeritannya terlontar jauh, tubuhnya akan mudah bubukan!” ujar Pendekar merah sambil menggeser kakinya, memasang kuda-kuda.
“Dasar bodoh! Telingamu sungguh tuli! Tidak bisa mendengarkan rintih tumbuhan yang kamu makan!” teriak Pendekar Kuning sambil menyibakkan jubahnya, bersiap atas segala kemungkinan yang terjadi.
Sepergulingan babi kemudian, saat matahari telah tenggelam, ketika bulan pucat mulai terlihat, pagar padepokan terbuka. Mahaguru mengernyitkan mukanya, melihat tiga sosok bersimbah darah di depannya.
Ia hanya menggelengkan kepala. Sambil bergumam, ia menutup kembali pagar padepokan. “Dasar tiga murid bodoh… Kalian saling bunuh bukan karena soal benar atau salah tapi karena kesombongan! Pengetahuan tanpa kearifan adalah sumber dari segala kesombongan.”