Saya masih punya pendapat, satu-satunya figur yang bisa menandingi Ahok hanyalah Risma. Terlebih jika selain PDIP, Risma juga didukung oleh Gerindra. Kalau soal ini, saya bukan hanya bicara analisis tapi juga berdasarkan survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga.
Sebentar. Sebelum kita mulai lagi, saya mau meluruskan dulu bagaimana survei politik sering dipahami secara keliru. Aneh rasanya kalau di era seperti ini, orang tidak mengandalkan survei sebagai salah satu cara mengukur popularitas, elektabilitas, dan yang paling penting: mengukur bagaimana mesin politik bekerja sehingga bisa dievaluasi dan dimaksimalkan.
Saya bukan ahli survei. Tapi beberapa teman saya di Facebook adalah ahli survei sehingga jika nanti saya keliru pasti ditegur dan diluruskan. Survei itu bukan hanya milik politik belaka. Kalau Anda mau memproduksi barang konsumsi misalnya, Anda juga butuh survei. Inti dari survei itu sederhana: mencoba merasakan semangkok bakso lewat satu sendok saja.
Hanya memang, di dalam politik sering kali survei dipakai sebagai media propaganda. Mudahnya begini. Kalau Anda menyewa lembaga survei, Anda akan mendapatkan hasil survei dan pemaparannya. Lalu Anda akan konsultasikan hasil tersebut dengan sebutlah konsultan politik Anda. Dari situ bisa dicacah banyak sekali hasil survei itu. Misalnya: jika Anda mau menggenjot semangat tim, bisa dinaikkan atau diturunkan hasil surveinya. Semua itu tergantung karakter tim.
Tapi ada juga yang untuk memukul mental lawan dengan menaikkan angka survei. Atau sebaliknya, supaya mesin lawan tidak bekerja maksimal, Anda turunkan. Seakan-akan lawan menang dan terlena. Semua tergantung kondisi dan psikologis para lawan dan tim mereka. Dan semua harus dianalisis dengan hati-hati. Anda pasti ingat dengan propaganda berbasis survei: Menang satu putaran! Itu sudah…
Tapi sebetulnya semua calon dan tim inti mereka memegang hasil survei yang “asli”. Bahkan kadang bukan hanya satu lembaga. Karena survei ini ada ilmu dan sudah pasti ada metodologinya, hasil setiap lembaga hampir pasti tidak berbeda jauh. Paling yang membedakan hanya “margin of error”, dan tafsir atas itu. Hal tersebut manusiawi. Kalau Anda sedang menang, ambang batas kekeliruan akan cenderung diturunkan. Kalau kalah ya sebaliknya.
Jadi kalau misalnya Anda punya teman yang bekerja sebagai konsultan politik, sebetulnya mereka sudah tahu apakah jagoan mereka akan menang atau kalah pada survei termutakhir. Hanya nanti akan agak ribet ketika membaca tren hasil survei lalu mengombinasikan dengan kinerja tim, plus “hari yang tersisa”. Itu perhitungan yang agak njelimet, butuh banyak contoh, dan tak penting untuk dibahas di status ini.
Balik ke Pilgub DKI. Karena daya tarik Pilgub ini, maka lembaga survei yang sudah dipesan maupun belum, setahu saya hampir semua melakukan survei. Memang jarang yang dipublikasikan. Karena kalau itu pesanan (bukan dalam makna negatif), tentu ditujukan kepada klien mereka. Bukan untuk kita. Tapi kalau Anda punya beberapa teman yang bekerja di sana, dan punya hubungan baik, tentu bisa diberi data tersebut.
Popularitas Ahok itu mentok. Nyaris tidak ada warga negara Indonesia yang tidak kenal Ahok. Apalagi bagi warga Jakarta. Sementara elektabilitasnya kurang-lebih 50 persen. Angka yang sangat tinggi untuk popularitas dan elektabilitas.
Sementara lawan Ahok, semua terengah-engah hanya untuk mengejar popularitas. Tapi sekali lagi, kita harus ingat, Pilgub DKI ini masih nisbi lama. Masih bakal bisa menciptakan banyak cerita.
Hanya ada satu calon yang popularitasnya menanjak, padahal tidak diintervensi dengan kinerja partai pengusung karena belum jelas bakal diusung atau tidak: Risma. Popularitas walikota Surabaya ini kemarin sudah lewat 20 persen. Ini yang menarik, elektabilitasnya kurang-lebih 80 persen. Bagi konsultan politik manapun, saya kira pasti sepakat, hanya butuh waktu dua sampai tiga bulan untuk melejitkan popularitas Risma agar setara dengan Ahok.
Tapi sayang, Risma belum tentu maju. Kenapa? Nah, kalau ini jujur saja berdasarkan desas-desus dari teman-teman saya yang ada di PDIP maupun yang di sekitar Risma. Kalau kata orang Jawa: kulak jare, adol jare. Alias: kata orang-orang.
Pertama, ada pihak di PDIP yang berpendapat bahwa sebaiknya Pilgub kali ini, PDIP mencalonkan kader “murni”. Jadi, kader pun kayak emas. Ada tingkat kemurniannya. Hehe. Becanda. Maksudnya, kalau Risma kan kader nemu di jalan. Masuk karena kepentingan politik pencalonan walikota. Mirip Jokowi. Argumen mereka cukup kuat, karena sangat percaya dengan mesin politik partai berkaca pada Pilgub terdahulu dan Pileg serta Pilpres.
Kedua, ada pihak yang berpikir bahwa kekuatan mesin partai saja tidak cukup. Mereka percaya pada kekuatan Risma. Terlebih bisa saja jika Ahok menang, dia bisa menjadi Wapres dari lawan Jokowi. Tidak ada jaminan dia jadi Wapres Jokowi. Terlebih dengan semua rekam jejak dan manuver Ahok. Sementara Risma bisa dipegang komitmennya sekaligus punya potensi besar mengalahkan Ahok. Jadi kalau mau “main aman” dengan mempertimbangkan 2019: Risma adalah pilihan yang paling pas. Begitu kira-kira pikiran pihak kedua.
Menurut saya sih, pasti tidak hanya ada dua pendapat. Variannya pasti banyak. Ini hanya untuk mempermudah menyimpulkan desas-desus saja.
Awalnya pendapat kedua yang tampaknya disetujui oleh Megawati. Tapi karena Ahok tiba-tiba harus menghadapi isu Sumber Waras dan reklamasi, pihak pertama yang kemudian lebih unggul.
Tentu untuk sementara waktu. Karena tak semua cerita bisa kita tebak.
Tapi kalau kisah mau berlangsung seru, Risma tanding sama Ahok adalah kisah yang menjanjikan drama dan klimaks. Anda tak perlu terlalu percaya. Apalagi jika tak suka drama.
*berkedip-kedip sambil melet-melet*