Saya sungguh tidak percaya pada banyak hal yang seakan klise. Misalnya: sepakbola Indonesia salah urus dan korup. Titik. Final. Selesai. Sepertinya pernyataan itu perlu ditelisik lebih jauh.
Kalau saya ingat pengalaman sejak kecil menonton sepakbola, sudah jamak dilakukan hal-hal seperti main dukun supaya menang, menyuap pemain lawan supaya tidak serius dalam bermain, menyuap wasit supaya tidak adil, dll.
Kita seakan-akan marah dan kaget melihat pejabat korup. Padahal saya yakin, di sekeliling kita biasa sekali orang berbuat korup. Dari mungkin mulai panitia 17 Agustus, panitia pembangunan jembatan atau masjid kampung, dll. Asal ada kata “panitia” di situ rentan korupsi. Dalam dunia bisnis, mencurangi dan dicurangi itu “wajar”. Timbangan barang dagangan sudah dari dulu biasa dibuat tidak imbang. Kalau imbang malah mengherankan. Sebelum pilkada-pilkadaan atau musim politik uang, pemilihan kepala desa sudah umum pakai amplop.
Berpikir curang, korup, “ngenthit”, “mbathi” seakan hal lumrah. Jujur saja, lihat sekeliling Anda bagaimana korupsi juga marak terjadi di komunitas keagaaman, ormas dan LSM. Ada yang dihukum lalu dikeluarkan, ada yang justru berjamaah, ada yang tahu sama tahu.
Menurut teman saya yang mendalami psikologi sosial, hal yang paling parah dan menyedihkan di Indonesia ada tiga:
Pertama, kalau ada orang yang baik, kebanyakan orang justru berpikir bagaimana mencurangi orang tersebut.
Kedua, kalau seseorang sedang rugi atau tertimpa musibah, kebanyakan hal pertama yang dipikir adalah bagaimana menipu atau mengambil keuntungan secara instan dari teman atau keluarga terdekat.
Ketiga, karena lumrahnya dua poin di atas, maka banyak orang yang kemudian tidak lagi percaya kepada kebaikan hati, kerelaan, dan keikhlasan. Kalau ada orang melakukan sesuatu yang baik, pasti dituduh ada maksud tertentu, ada niat tertentu, ada pamrih tertentu.
Menyedihkan tapi nyata.