Biografi Kreatif
Kisah dari Dapur
Dua genting kaca meneroboskan cahaya dari langit, menerangi sebuah kanvas besar yang disandarkan pada dinding. Sebuah kursi kayu berukuran pendek tanpa sandaran berada tepat di depan lukisan. Di atas kursi itu, seorang laki-laki berkacamata tebal sedang memandang lukisan itu dengan penuh konsentrasi. Hidung dan mulutnya dibebat masker berwarna biru. Sementara di tangannya, kuas basah siap menyapu bagian-bagian tertentu di tubuh kanvas. Lamat, pada kanvas itu, membayang sebuah objek berupa buah apel yang kerowak.
Ruangan itu sangat bersahaja. Sejumlah kanvas dengan cat-cat yang belum kering tersandar di dinding-dinding bagian tertentu, menunggu giliran untuk diproses menjadi lukisan. Beberapa pot tanaman terletak rapi di sudut-sudut ruang, salah satu yang paling dekat dengan seseorang yang sedang menghadapi lukisan, berisi tanaman lidah mertua (sansevieria). Konon, tanaman itu punya faedah menyerap racun di udara. Tidak jauh dari tanaman dengan bentuk menyerupai lidah-lidah memanjang itu, sebuah mini compo menggemakan lagu-lagu dari salah satu stasiun radio dengan volume suara yang tidak begitu keras. Sementara, di atap ruangan terpasang dua buah neon panjang yang masing-masing memendarkan cahaya sebesar 40 watt, sebagai pengganti dua genting kaca, ketika malam datang, atau di saat hari mendung. Masih di ruangan itu, terdapat satu set meja kursi sederhana dari kayu. Di sana, sang perupa sering menerima tamu-tamunya.
Dulu, ruang bagian belakang rumah ini adalah sebuah dapur. Tetapi Kokok P Sancoko, sang perupa, telah menyulap ruang itu menjadi sebuah studio untuk mempersiapkan pameran tunggal pertamanya yang akan digelar pada pertengahan Desember 2007 di Galeri Biasa Art Space, Bali. Dapur yang semula berada di ruang itu digeser, plastik transparan pun dipasang di atap, berjaga-jaga agar saat hujan turun tidak membahayakan lukisan-lukisannya.
Siang itu, hawa mulai gerah. Mendung menggantung padat di langit Yogya. Seluruh proyek lukisan yang akan dipamerkan di Galeri Biasa Art Space itu, dikerjakan oleh Kokok ketika musim penghujan mulai datang.
“Aku seorang perupa, aku tidak begitu bisa menyatakan gagasan-gagasanku melalui kata-kata.” demikian ujar Kokok, laki-laki berusia 33 tahun, kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, saat ia rehat dari aktivitasnya melukis. Saat rehat seperti itu, masker dicopot, mini compo dimatikan, lalu ia duduk bersandar di kursi tempat ia biasa menemui tamu-tamunya. Seluruh gerak-geriknya tenang, juga saat ia menyeruput pelan secangkir kopi yang dihidangkan oleh istrinya, dan saat ia menyalakan rokoknya.
Sekalipun cenderung pendiam, perupa jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta jurusan Desain Interior ini, selalu memperhatikan dengan baik lawan bicaranya. Ia bahkan tidak segan membongkar barang-barang di ruangan rumah bagian depan untuk menunjukkan katalog-katalog pameran yang pernah diikutinya. Di ruangan depan itu, semakin banyak kanvas-kanvas yang tersandar di dinding. Sebagian masih berupa kanvas-kanvas kosong. “Dulu aku melukis di ruang ini,” katanya sembari membuka pintu lemari, “tetapi ruang ini tidak cukup lagi, dan aku kasihan kepada anak-anakku sebab cat minyak mengeluarkan bau yang menusuk.”
Katalog-katalog pamerannya tersimpan rapi di dalam sebuah lemari kayu, terselip di antara buku-buku sastra, terutama karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Namun yang paling terlihat menonjol adalah buku tebal dengan sampul berwarna kuning, bergambar seorang laki-laki mengacungkan pedang. Tidak salah lagi, buku itu berjudul Musashi, karya Eiji Yoshikawa.
Kokok mengaku sangat menyukai buku Musashi. “Pada beberapa hal, aku merasa sama dengan Musashi. Ia orang yang biasa-biasa saja. Tetapi saat memilih Jalan Pedang, ia melakukannya dengan serius, melalui laku disiplin dan latihan-latihan yang ketat.”
Sebagaimana Musashi, Kokok merasa kalau dirinya bukan orang yang berbakat, sekalipun kalau kita mencoba melongok ke tapak-tapak jalan yang telah dilaluinya, mungkin tidak akan percaya begitu saja dengan apa yang telah dikatakannya. Kokok juga merasa kalau tidak ada titisan darah seni yang mengalir di tubuhnya, dan oleh karena itu satu-satunya cara yang harus dilaluinya untuk menguasai teknis melukis hanyalah lewat berlatih dengan tekun.
Seingat Kokok, persinggungannya dengan dunia senirupa diawali saat ia masih duduk di bangku SMA. Saat itu, ia biasa dilibatkan oleh pihak sekolahnya untuk ikut mempersiapkan karnaval Agustusan, mulai dari menghias sepeda sampai menghias pernik-pernik karnaval yang lain. Bahkan saat ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah di ISI, bukan berarti karena ia ingin jadi seniman. Alasannya cukup sederhana, saat itu kakak kelasnya ada yang kuliah di ISI dan saat pulang ke kampung, si kakak kelas membawa brosur ISI. Lalu Kokok mendaftar, memilih jurusan, menjalani tes, dan diterima. Selesai. Ia bahkan tidak merasa menonjol dalam dunia seni sekalipun saat itu banyak teman-teman seangkatannya yang dianggapnya pintar dalam dunia senirupa gagal masuk ISI.
Semasa kuliah di ISI, perhatiannya kepada dunia senirupa bukan didapat dari pelajaran-pelajaran kuliah, melainkan lewat pergaulan. Di kampus ISI lama, yang terletak di daerah Gampingan, ada sekelompok orang yang sering nongkrong di bawah pohon beringin, sehingga mereka sering disebut Cah Sor Ringin. Mereka yang sering nongkrong di sana misalnya Agung Leak, Bambang Toko, S Teddy D, Handiwirman, Toni Volunteero, Dodo Hartoko, Iwan Tipu, Joko Gundul, Yani Halim, dan masih banyak yang lain. Kokok sering berinteraksi dengan mereka, dan tidak jarang pula ia terlibat dalam kerja-kerja berkesenian, termasuk ikut berpameran.
Jarak Nganjuk-Yogya relatif tidak jauh, karena itu Kokok pun sering pulang kampung. Karena sering pulang kampung, ia sering bertemu dengan teman-temannya yang dulu mendaftar di ISI namun tidak diterima. Bersama teman-teman kampungnya yang memang bisa menggambar itu, Kokok membentuk sebuah kelompok bernama Kelompok Roda. Kelompok ini cukup sering mengadakan pameran lukisan di Nganjuk.
Tetapi bagaimanapun, Kokok kuliah di jurusan desain interior. Sekalipun toh banyak bergaul dengan seniman-seniman seni murni, ia tetap tidak bisa melepaskan diri dari jenjang pendidikan formal yang dilaluinya. Fase itu membuat Kokok seperti berjalan dengan satu kaki menapaki dunia desain interior, dan di kaki yang lain menapaki seni lukis. Ia merasa telah menempuh dua jalan secara bersamaan. Hal seperti itu diakuinya sering membuat lelah. Selama bertahun-tahun menempuh dua jalan senantiasa membuatnya merasa gamang dan tidak nyaman.
***
Kokok menikah dalam usia yang relatif muda, saat ia masih kuliah, di usia 21 tahun. Ia cukup beruntung menikahi Lina, seorang perempuan dari Nganjuk yang sudah mengenal aktivitas Kokok dengan baik. Kebetulan juga, Lina adalah anak seorang seniman, sehingga kehidupan seni dengan seluruh suka-dukanya, bukanlah hal yang asing baginya. Namun bagaimanapun juga, seusai menikah, Kokok adalah seorang kepala keluarga apalagi tidak lama kemudian lahirlah anak pertamanya, Dimas, yang sekarang duduk di kelas 5 SD.
Konsentrasi Kokok masih terus terpecah untuk melalui dua jalan: desain interior yang yang digariskan oleh lajur formal kuliahnya, dan seni lukis yang merupakan panggilan hatinya. Tetapi Kokok atas pertimbangan-pertimbangan tertentu, menyimpan yang kedua, dan terpaksa menapaki yang pertama. Ia pernah pergi ke Jakarta untuk melakukan ‘kerja profesi’ sebagai syarat kelulusan akademiknya. Toh kemudian, kuliahnya tetap tidak rampung. Ia pernah pula bergabung dengan sebuah perusahaan desain interior. Bahkan, bersama istrinya, ia juga pernah mendirikan usaha kerajinan tangan.
Batin dan pikiran Kokok terombang-ambing. Ia merasa ada sesuatu yang tidak tepat dengan jalur yang telah ditempuhnya. Hingga kemudian, saat istrinya mengandung anak kedua, ia membuat sebuah keputusan yang cukup berani. “Aku harus memilih salah satu. Aku tidak bisa hidup dengan batin dan pikiran yang bercabang. Lalu aku memilih untuk menjadi perupa.” begitu pengakuannya, mengingat saat-saat genting ketika memutuskan menjadi perupa. Keputusan itu diambil pada tahun 2003.
Selesai membuat keputusan, ia kemudian berusaha merumuskan langkah-langkahnya. “Aku harus melupakan semua. Aku harus melupakan bahwa aku pernah menjadi perupa. Aku harus mulai belajar dari nol lagi.” Pemikiran itu, menurut Kokok, harus dilakukan karena jika ia masih dibayang-bayangi masa lalu, saat ia pernah terlibat dalam proses bersama para perupa, baik saat ia masih di Nganjuk maupun saat ia bergaul bersama Cah Sor Ringin, akan menghambat proses belajarnya.
Setidaknya ada dua hal yang harus segera dilakukannya saat itu. Pertama, ia merasa bahwa ia belum bisa mengelola gagasan dengan baik. Kedua, ia merasa masih mempunyai banyak kekurangan di dalam ketrampilan teknis melukis.
Untuk mengatasi masalah yang pertama, Kokok segera menghubungi kembali salah satu teman lamanya yakni S Teddy D. Bersama Teddy, Kokok melakukan apa yang disebutnya sebagai ‘magang kerja’, sebuah proses di mana ia belajar mengelola gagasan. Ia banyak melakukan diskusi dengan Teddy perihal bagaimana si kawan mengolah gagasan dan kemudian mengeksekusinya menjadi sebuah karya.
Sementara untuk mengatasi masalah teknis, Kokok giat berlatih sendiri di rumah. Ia membuka ulang kitab-kitab lamanya yang berisi tentang dasar-dasar melukis. Menurut pemikirannya, “Gagasan sehebat apapun tanpa kemampuan teknis, tidak akan jadi apa-apa.”
Ada kejadian kecil namun cukup penting di fase tersebut. Pada saat itu, Kokok bahkan tidak bisa dan tidak punya gambaran bagaimana cara melukis model realis. Namun suatu kali, bersama salah satu temannya, Kokok mengunjungi pameran lukisan di Festival Kesenian Yogyakarta (FKY). Di sana, ia melihat bagaimana seorang perupa yang mempunyai ketrampilan dalam bidang lukisan wajah sedang menunjukkan kebolehannya. Kokok sangat tertarik dengan proses itu. Selama berjam-jam, ia memperhatikan dari dekat bagaimana teknik yang digunakan si perupa. Sampai di rumah, teknik tersebut dipelajarinya sampai berbulan-bulan. Teknik tersebut, menurut pengakuan Kokok sangat berguna di dalam mengasah ketrampilannya melukis.
Sementara itu, di luar kompleksitas olah-diri yang dilaluinya, di luar dugaan, jalan seakan membentang lapang di depan Kokok. Bentangan pertama, disibak oleh sebuah kompetisi bernama Philip Morris Award tahun 2003. Kokok ikut mengirim karya di kompetisi yang cukup bergengsi dalam jagat senirupa di Indonesia itu. Sekalipun tidak terpilih dalam 5 besar, tapi toh lukisannya yang berjudul Rekonstruksi Pemandangan Alam, hasil olah-ulang yang dilakukan oleh Kokok terhadap karya seorang perupa bernama Abdullah Soeriosubroto, terpilih untuk ikut dipamerkan.
Bentangan kedua terbuka saat lukisan Kokok laku terjual. Atas saran dari Teddy, salah seorang kolektor lukisan membeli hasil karya Kokok. Lukisan pertama yang terjual itu berjudul Seribu Perak, melukiskan seseorang yang sedang berak di sela-sela semak bunga bakung. Gagasan lukisan itu berusaha merespons bagaimana orang-orang zaman sekarang di dalam melakukan segala hal harus membayar, bahkan saat berak pun harus membayar sebesar seribu perak. Kokok mengaku, dipilihnya bunga bakung sebagai salah satu objek lukisannya, karena di saat itu ia begitu terkagum-kagum dengan salah satu tokoh senirupa yang kontroversial yang sering melukis bunga bakung juga, bernama Diego Rivera (1886-1957). “Menurutku, karya-karya Rivera berenergi dan punya visi besar.” tutur Kokok.
Jalan semakin benderang saja bagi Kokok, karena di tahun-tahun berikutnya, ia terlibat dalam berbagai pameran bersama perupa-perupa lain. Dua di antara pameran-pameran yang pernah diikutinya adalah open view (2005) dan it (Desember 2005-Januari 2006). Kedua pameran itu digelar di Galeri Biasa Art Space.
Perjalanan Kokok sebagai seorang perupa boleh dibilang cukup panjang, tetapi juga bisa dibilang ‘baru kemarin’. Kalau diukur dari semenjak ia ikut berkumpul bersama teman-temannya di Cah Sor Ringin dan saat ia membentuk Kelompok Roda, memang boleh dibilang cukup panjang. Sedangkan kalau diukur dari saat Kokok memutuskan untuk benar-benar menjadi perupa, yakni tahun 2003, memang bisa disebut ‘baru kemarin’. Namun Kokok sendiri lebih suka meletakkan diri dalam peta kreativitasnya sendiri, karier melukisnya dimulai saat ia memutuskan menjadi perupa. “Aku selalu menganggap diriku masih pemula,” kata Kokok, “masih perlu banyak belajar.” Namun Kokok tidak bisa mengingkari bahwa selama proses yang ditempuhnya itu ia merasa semakin matang dalam mengelola gagasan dan mampu melakukan pencapaian-pencapaian teknis yang cukup membuatnya semakin percaya diri.
Memasuki tahun kelima peta kreativitas yang telah dipatoknya, sudah ada 15 lukisan yang telah terjual. Sebagai seseorang yang merasa sebagai pemula, jumlah itu boleh dibilang tidak sedikit. Hampir semua karyanya terjual di galeri dan di saat pameran.
Selama menapaki proses lima tahun itu, Kokok telah menemukan semacam landasan bagi kreativitasnya, yang terucap seperti ini, “Masalah lukisan harus diselesaikan dengan lukisan. Dua dimensi mempunyai logikanya sendiri, tidak harus diperbandingkan dengan hal-hal lain di luar itu. Dan melukis bagiku, adalah perjuangan centi demi centi.” Saat mengucapkan kalimat itu, suaranya terdengar bergetar memenuhi ruang, dan tatapan matanya tertuju pada kanvas yang catnya belum mengering. Suara itu seakan melayang, terserap di dalam cat yang masih basah.
Ia terdiam sejenak. Kemudian tangannya meraih gagang cangkir berisi kopi yang hampir tandas, meminumnya, dan kemudian menyalakan lagi sebatang rokok. Semua prosesi kecil itu dilakukan dengan tetap terlihat tenang, namun siapapun yang berada di sana saat semacam kredo itu terlontar keluar dari kerongkongan Kokok, pastilah bisa merasakan energi yang luar biasa dari kalimat-kalimat itu, yang mungkin merupakan endapan kreativitas yang telah ditempanya cukup lama.
Di luar, gerimis mulai turun. Kokok mengingatkan Lina agar tidak lupa mengambil jemuran.
***
Kokok mengangkat kanvas dengan objek buah apel yang kerowak, dipindahkan ke dinding yang lain. Kemudian ia mengangkat lagi kanvas dengan objek sayuran kubis. “Ini lukisan yang secara teknis paling susah, sekaligus paling kusukai.” paparnya.
Lukisan-lukisan yang akan dipamerkan di Galeri Biasa Art Space itu merupakan serial yang disebut Kokok dengan lengkaptaklengkap seri. Serial ini telah diakrabi dan digarapnya selama tiga tahun terakhir. Selain seri ini, Kokok juga mengungkapkan bahwa ia mempunyai 9 seri yang lain. Eksplorasi sedemikian banyak seri dimaksudkan agar ia bisa ‘pergi ke mana-mana’. Untuk mewadahi kemungkinan-kemungkinannya dalam melakukan berbagai eksplorasi, Kokok juga berkreasi di bidang tiga dimensi. Ternyata, pot-pot bunga yang dipajang di dalam studionya, dan lebih banyak lagi yang sedang ditanam di halaman samping rumah kontrakannya, bukan semata-mata karena Kokok memang menyukai tumbuh-tumbuhan, melainkan karena ia sedang getol-getolnya mengeksplorasi berbagai bentuk tumbuhan untuk karya-karya tiga dimensinya.
Di dalam serial lukisannya kali ini pun, Kokok menggunakan objek buah dan tanaman. Serial tersebut mencoba mengeksplorasi benda-benda keseharian, yang di dalam dunia senirupa sering disebut sebagai still life, di mana hal-hal seperti pengukuran bidang dan pencahayaan, yang merupakan dasar-dasar senirupa, mutlak dibutuhkan.
Biasanya, di dalam mengerjakan satu lukisan, ia membutuhkan tiga kali proses sentuhan. “Ini sentuhan terakhir.” Kata Kokok sambil menunjuk lagi ke kanvas berlukiskan sayur kubis itu.
Dalam mengerjakan lengkaptaklengkap seri ini, Kokok menggunakan enam pendekatan. Pertama, ia mencoba memindahkan bagian tertentu dari objek ke panel yang berbeda. Pendekatan seperti ini bisa terlihat misalnya dalam lukisan apel yang kerowak. Sebuah apel tampak kerowak, dan bagian atau serpihan kerowakan apel dilukis di panel yang berbeda, namun kedua panel tersebut masih merupakan satu rangkaian lukisan. Kedua, Kokok mendekati objek dengan cara membuat fokus di bagian tertentu pada objek tersebut, sementara bagian-bagian objek yang lain dibiarkan buram. Pendekatan seperti inilah yang digunakan untuk melukis sayur kubis. Ketiga, ada bagian-bagian tertentu di objek yang sengaja dihilangkan. Keempat, Kokok memindahkan bagian tertentu dari sebuah objek, namun objek itu diletakkan lagi di dalam panel yang sama. Pendekatan ini hampir mirip dengan pendekatan pertama, namun tidak menggunakan dua panel. Sementara yang kelima, Kokok memotong beberapa bagian tertentu objek yang dilukisnya, lalu meletakkan bagian-bagian tertentu itu sedemikian rupa sehingga objek itu mengalami pergeseran dan perubahan bentuk karena efek potong-letak yang sangat diperhitungkan dan dilakukan dengan cermat. Pendekatan kelima adalah ‘rumus hantu’, kadang tampak dan kadang tak tampak.
Tampaknya, lengkaptaklengkap seri dengan kelima pendekatan tersebut, masih merupakan turunan dari apa yang sering dinyatakan oleh Kokok sebagai ‘masalah lukisan harus diselesaikan dengan lukisan’.
Kokok mengaku kalau ia begitu dingin dan berjarak dengan benda-benda yang dipilih sebagai objek-objek lukisannya. Sebuah benda yang dipilih oleh Kokok sebagai objek lukisan, seakan diputus dari sejarah benda tersebut lalu diolah ulang, semacam dibuat lagi sebuah sejarah atas benda tersebut.
Sebelum menjadi sebuah lukisan, ada beberapa tahapan yang dilaluinya untuk mengolah bakal objek lukisannya. Sebuah benda dipilih, lalu Kokok memasukkan benda tersebut ke dalam studio untuk dipotret. Hasil potretan itu diolahnya dengan menggunakan komputer, lalu dicetak. Hasil cetakan inilah yang menjadi bahan baku lukisannya. “Tapi itu belum lukisan.” ujarnya, sebab lukisan bagi Kokok adalah apa yang ada di atas kanvas. Lagipula, menurutnya, bahan hasil cetakan itu belum tentu sama persis dengan apa yang kelak akan disapukannya di atas kanvas.
“Aku tidak memindah foto. Aku membuat lukisan.” tegas Kokok, seakan ingin menggarisbawahi bahwa hasil cetak foto yang telah diolahnya lewat komputer belumlah apa-apa. Hal itu hanya semacam tahapan di dalam mengolah bahan-bahan yang akan dilukisnya. Apalagi, ada kekurangan Kokok yang diakuinya, namun justru karena itu menjadi kekuatan bagi lukisan-lukisannya, “Aku itu tidak begitu ngerti komputer. Aku hanya tahu sedikit soal Photoshop, tahu sedikit soal 3D Max, dan juga enggak ngerti banyak soal Corel Draw. Makanya ada banyak hal di dalam kepalaku yang tidak mampu kuolah di komputer, dan itu kusimpan di kepala untuk kemudian kueksekusi saat aku menghadapi lukisan-lukisanku.” Hal seperti itu pula yang mungkin membuat Kokok tidak mau menggunakan proyektor untuk menembakkan hasil olahan digital ke kanvas. “Bisa saja kalau aku mau menggunakan proyektor. Tapi aku memilih untuk tidak menggunakannya. Sekali lagi, aku tidak memindahkan foto. Aku membuat lukisan.” tandasnya dengan mantap.
***
Tawaran untuk menggelar pameran tunggal pertama di Galeri Biasa Art Space, datang di bulan Agustus, tahun 2007. Memang cukup mendadak, apalagi pameran akan dilakukan di bulan Desember di tahun yang sama. “Awalnya aku agak kaget, dan sempat dihinggapi tanda tanya.” ungkap Kokok mengingat apa yang dirasakannya saat mendapatkan tawaran pameran yang akan dikuratori oleh Enin Supriyanto itu.
Sejujurnya, jauh di dalam hati Kokok tersimpan pertanyaan, mengapa dia yang ditawari? Pada akhirnya, ia memutuskan untuk tidak ambil pusing dengan pertanyaan seperti itu. Kokok yakin, memang sudah saatnya ia melakukan pameran tunggal, dan hal itulah yang ditunggu-tunggunya. Ia harus segera berkarya. Ia harus berlomba dengan waktu untuk mengarungi tenggat. Tanpa membuang waktu, ia merombak dapur menjadi studio lukis. Ia juga mengontak kawan lamanya, Dodo Hartoko, untuk merancang dan mengerjakan katalog pameran.
Namun bagaimanapun juga, pameran ini adalah pameran tunggal pertama bagi Kokok. Memang ia pernah melakukan beberapa kali pameran bersama beberapa perupa lain, tetapi mempersiapkan pameran tunggal toh tetap memberinya rasa gugup. Wajar rasanya jika Kokok didera rasa gugup, mengingat peristiwa itu akan menjadi fase penting perjalanan kariernya di dunia senirupa. Bahkan ia mengaku, pada saat-saat tertentu merasa tidak bisa melukis. Tetapi Kokok selalu berusaha memotivasi dirinya sendiri bahwa ia bisa. “Aku sudah berlatih lama, aku sudah tahu apa yang harus kukerjakan, dan aku tidak punya alasan untuk tidak mampu melakukan ini.” begitu kata-kata yang selalu digemakan di dadanya. Tampaknya, Kokok berhasil mengatasi hal itu, terbukti beberapa lukisan dalam ukuran besar, tinggal menunggu sapuan terakhir saat waktu menunjuk awal bulan November 2007.
Kalaupun ada hambatan dalam proses ini, tak lebih karena Kokok menggunakan cat minyak untuk melukis. Cat minyak, selain menguarkan aroma menusuk, dan oleh karena itu ia selalu memakai masker berwarna biru, juga butuh waktu lama untuk kering. Di dalam menanggapi hal itu, Kokok memberikan alasan tersendiri, yang dikatakan dengan nada kalem, “Aku cenderung konservatif. Bagiku, melukis itu ya cat minyak di atas kanvas.”
Sementara hambatan-hambatan lain juga sering muncul, tetapi Kokok menganggapnya sebagai risiko profesinya. Kadang ia harus menerima kedatangan tamu, yang sebagian besar adalah utusan para kolektor lukisan. Kadang beberapa temannya datang untuk bermain, “Tetapi kalau teman, aku masih bisa bilang, aku harus kerja.” Sedangkan untuk para utusan kolektor maupun kolektor lukisan yang langsung datang dan hendak membeli lukisan, Kokok tetap menemui mereka. Jika mereka ingin membeli lukisannya, Kokok menyarankan agar mereka membeli di galeri atau di saat pameran digelar. Kokok memang jarang menjual lukisan di rumah kontrakannya.
Hambatan kecil yang lain, Kokok selalu tidak bisa menolak jika Ara, anak keduanya yang sedang duduk di bangku play group, minta ditemani bermain. Untuk mensiasati hal itu, Kokok bangun lebih pagi supaya bisa leluasa melukis, di saat Ara belum bangun dari tidur.
Kokok memang terlihat berhati-hati di dalam mensiasati waktu yang dimilikinya. Ia bahkan sengaja tidak punya komputer sendiri. “Untuk menghindari agar aku tidak tergoda bermain game,” paparnya dengan mengulum senyum, “kalau aku ingin mengolah hasil foto ya aku pergi ke rental komputer.”
Hari susut menjadi senja. Gerimis yang sudah turun sejak siang, berubah menjadi deras hujan. Kokok menyalakan lampu. Ia kembali memakai masker berwarna biru. Disiplin ala Musashi telang memanggilnya lagi. Cat sudah mengering, saatnya menggores kanvas lagi. (Puthut EA)
3 November 2007
ooOoo