Soal makanan, saya membiasakan Kali untuk mencicip aneka masakan. Dia biasa makan makananan dari berbagai daerah atau bahkan negara lain. Dia bisa makan nasi padang, menunya ayam pop tapi gak pakai kuah.
Dia juga suka makanan jepang kayak ibunya. Atau makanan yang berbumbu tebal ala timur tengah. Dia juga suka makan ‘fish and chips’, lalu hamburger, dan sejenisnya. Di sisi lain, Kali bisa makan hanya dengan lauk tempe atau kerupuk saja. Dia juga suka makan mie instan, walaupun tidak boleh sering-sering.
Kenapa bisa begitu? Saya orang kampung. Tahun 1995, saya kuliah di Yogya. Untuk pertama kalinya saya kemudian makan makanan padang dan gudeg. Saya tak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan masakan padang, tapi kalau gudeg, mungkin benar-benar bisa menikmati gudeg setelah lebih dari 5 tahun tinggal di Yogya.
Saya berpendapat bahwa lidah yang ‘kosmopolitan’ akan lebih mudah beradaptasi. Adaptasi merupakan salah satu kemampuan penting di hidup ini, baik Anda percaya dengan hukum Darwin atau tidak. Ini pendapat saya, berdasarkan pengalaman. Misalnya, saya bisa makan mie instan. Di beberapa penelitian atau berpergian yang harus ke kampung-kampung, atau pelosok jauh, seandainya saya tidak doyan mie instan, akan menghadapi masalah makanan. Teman-teman saya yang tidak bisa makan mie instan, lebih bermasalah dari saya. Termasuk, saya bisa makan berhari-hari hanya dengan ubi.
Saya pernah bertemu dengan seorang peneliti dan pendamping masyarakat yang bisa bertahan dengan hanya makan air kelapa dan ubi selama berbulan-bulan. Kebetulan daerah dampingannya nyaris tidak ada air bersih, dan di bulan-bulan tertentu hampir tak ada makanan selain ubi. Adaptasi yang liat seperti itu, dibutuhkan orang-orang tertentu dalam kehidupan mereka.
Orang sebaiknya dibiasakan makan makanan dengan ragam citarasa, termasuk dengan rasa minimalis semacam hanya makan ubi dengan cabe dan garam saja. Dengan begitu, dia akan dibiasakan menerima keragaman, dan biasa saja dalam menghadapi kesulitan serta tantangan hidup ini.