Saya sering mengalami peristiwa ini. Setiap kali naik pesawat terbang, kemudian ada di antara penumpang yang berjidat hitam dengan memakai celana cingkrang, saya memiliki perasaan, pesawat yang saya tumpangi setiap saat bisa meledak begitu saja di udara atau dibajak entah untuk agenda apa.
Perasaan tersebut seketika menjadi penyesalan yang sangat dalam ketika pesawat mendarat. Betapa saya telah memiliki prasangka buruk, bahkan cenderung keji, kepada orang-orang yang tidak saya kenal, hanya lantaran penampilan mereka. Padahal mungkin orang-orang tersebut jauh lebih baik daripada saya. Mungkin mereka bekerja lebih tekun, berperilaku lebih baik dan punya kontribusi sosial yang lebih besar.
Namun ketika kemudian saya hendak naik pesawat terbang lagi, ada penumpang seperti itu lagi, pikiran saya tetap sama. Dan kemudian diakhiri dengan penyesalan lagi. Begitu terus-menerus. Tidak gampang mengusir prasangka.
Tentu ada yang telah lama dibangun di pikiran saya sehingga stereotip seperti itu terbentuk di diri saya. Fondasi, tiang dan bangunannya bisa berasal dari bermacam-macam sumber. Tapi tampaknya konstruksi semacam itu tidak hanya ada di kepala saya. Saya kerap mendapati hal yang sama terlontar di media sosial. Jidat hitam, berkonotasi pada sekian daftar sikap dan sifat yang tidak menyenangkan.
Saya kemudian merenung. Ada jejak panjang stereotip di jelujur sejarah personal dan sejarah sosial yang melingkupi diri saya. Hampir sebagian besar generasi saya, yang menghabiskan masa kecil dan remaja di zaman Orde Baru, tentu juga tidak bisa melupakan stereotip yang dikonstruksi tentang orang komunis. Mereka sekelompok jahanam yang dicap suka menari dan menyanyi sembari menyiksa dan membunuh orang, mereka suka membuat onar dan membakar tempat ibadah. Ketika kemudian sejarah mulai berbenah, berbagai tinjauan sudah memberi perspektif yang berbeda, tidak langsung prasangka semacam itu hilang. Butuh perjuangan yang lama dan tidak gampang. Bahkan sampai sekarang, di momentum-momentum tertentu masih sering kita dapati spanduk bertuliskan: Awas Bahaya Laten Komunis.
Orde Baru termasuk rezim yang rajin memproduksi stereotip. Tato, misalnya. Dulu kalau orang bertato maka yang sekaligus menempel di diri orang tersebut adalah kriminal atau setidaknya preman.
Saya memang pada akhirnya bisa menggusur stereotip tentang orang komunis dan orang bertato, namun di sisi yang berbeda ada stereotip lain yang tumbuh di kepala saya tentang orang berjidat hitam dan bercelana cingkrang. Sungguh sebuah ironi.
Saya ingin menarik ke kurun terkini, sembari menyisakan sikap kritis, apakah benar kesadaran adab dan pikiran kita lebih baik seiring dengan perkembangan demokrasi? Mestinya, jawabannya iya.
Demokrasi mensyaratkan atau setidaknya memberi ruang agar setiap perbedaan difasilitasi. Namun saya justru merasa bahwa kita hidup di sebuah zaman yang kebanyakan kelas menengah kita memiliki standar ganjil tentang sesuatu. Contoh mudah dan yang paling kontekstual adalah kalau kita mengkritik Prabowo maka kita dianggap berada di pihak Jokowi, juga sebaliknya. Seakan-akan pilihan kita dikunci dan sikap kritis kita dilucuti. Ruang menyempit bagi orang-orang yang ingin memberi catatan. Pilihan diperkecil dengan hanya pilih A atau B. Seakan-akan tidak ada celah bagi kita untuk mengkritik A tanpa harus diposisikan sebagai pihak B.
Bahkan kecenderungan pengelompokan termutakhir menurut saya lebih mengerikan lagi. Sekarang ini, kita bisa dikelompokkan dan dikotak-kotakkan hanya berdasarkan pada apa yang kita konsumsi dalam makna yang paling sempit. Orang dinilai hanya berlandaskan pada satu ceruk kecil dari kompleksitas manusia. Sungguh tidak masuk akal orang kemudian dibedakan karena ia merokok atau tidak, mengonsumsi mi instan atau tidak, memakai batik atau tidak, vegetarian atau tidak, minum kopi atau tidak. Pihak yang satu merasa lebih baik, lebih keren, lebih ‘manusiawi’ dibanding yang lain. Kalau hal seperti ini terus terjadi, maka kita sejarah peradaban kita mundur beberapa langkah.
Dulu, orang dibedakan dan dikelompokkan atas dasar ideologi, pemikiran dan organisasi politik. Ketiga hal tersebut dibentuk oleh sebuah proses yang panjang dan praktik politik yang tidak sederhana. Tetapi sekarang ini, kita bisa tiba-tiba dibedakan dan dikelompokkan hanya karena kita mengonsumsi sesuatu. Hal seperti itu sialnya terjadi di kalangan kelas menengah kita yang konon merupakan kelompok sosial masyarakat yang merasa paling terbuka, plural dan demokratis.
Bayangkan, kita berusaha untuk lepas dari sekat-sekat ekspresi ideologi, politik dan kultural. Kita berjuang sekuat tenaga agar tidak ada lagi stereotip terhadap orang berjilbab, berblangkon, bersurjan, bercelana cingkrang dll. Tapi di sisi yang lain, kita ‘dipaksa’ untuk dibeda-bedakan dan dikotak-kotakkan hanya karena di antara kita ada yang merokok, memakan daging, meminum alkohol dan bahkan hanya karena makan mi instan. Kita berusaha keras untuk lepas dari kerangkeng stereotip yang besar dan kokoh, namun membiarkan diri kita tercebur di hal yang tidak penting.
Kita semua ingin beringsut dari kesadaran bahwa orang yang berjilbab tidak usah menghakimi orang yang tidak berjilbab, demikian juga sebaliknya, karena manusia terlalu kompleks untuk dibedakan dan dinilai dari hal tersebut. Negara ini didirikan untuk memfasilitasi perbedaan-perbedaan seperti itu agar sama-sama hidup nyaman. Namun ternyata kita beralih ke situasi di mana orang yang tidak merokok atau tidak makan mi instan atau tidak minum kopi, merasa lebih baik dibandingkan orang mengonsumsi ketiga hal tersebut. Ini peradaban apa-apaan? Menurut hemat saya, rezim pemikiran yang sampai menilai moral manusia hanya karena apa yang dimakan dan diminum, adalah rezim pemikiran yang paling absurd.
Kalau hal seperti ini tidak kita kritisi maka lama kelamaan, anak kita bisa bertengkar dengan anak tetangga hanya karena yang satu minum kopi arabika dan yang satu suka minum kopi robusta, yang satu suka minum teh jahe dan yang lain suka minum teh melati. Terjadi atau tidaknya hal seperti itu bergantung pada sikap kita di masa sekarang.
Kecuali kita semua bersepakat untuk bercita-cita menciptakan sejarah perang sipil di negeri ini hanya karena perbedaan sesuatu yang kita kunyah, kita isap dan kita seruput.
***
Puthut EA
*Pernah dimuat di majalah Esquire, edisi Juli 2014