Beberapa hari yang lalu, ada salah satu teman saya di fesbuk yang membuat status kira-kira begini: bayaran untuk desain sampul 450 ribu, harga yang sama sejak bertahun-tahun yang lewat. Sayang saya lupa teman tersebut sehingga tidak bisa mengecek persis statusnya seperti apa.
Kenapa hal seperti itu terjadi? Ada apa dengan hal itu? Butuh sekian banyak alat bantu untuk membedahnya. Alat bantu pertama adalah iklim penerbitan di Yogya yang semakin tidak semarak. Ini jamak diketahui. Hal lain, ada logika ‘bisnis’ yang harus dipahami di setiap pelaku bisnis. Saya beri ilustrasi begini:
A memberi harga 500 ribu untuk setiap sampul yang didesain. Setiap bulan, ia menerima pesanan 3 sampul. Sebulan, ia menerima 1,5 juta rupiah. B memberi harga 250 ribu untuk setiap sampul yang didesain. Karena harganya murah, sebulan ia mendapatkan order 10 sampul. Sebulan ia menerima uang 2,5 juta rupiah. Anda tinggal pilih, mau mengikuti pola A atau B. Suka-suka Anda.
Namun sesungguhnya ada hal lain yang lebih besar, yakni persoalan teknologi. Teknologi yang berkembang pesat, membuat banyak hal menjadi ‘mudah’ dan bisa semakin dikerjakan oleh kebanyakan orang. Dulu, kalau bicara corel atau fotosop, mungkin hanya segelintir orang yang bisa. Sekarang, asal Anda tunjuk anak kuliah yang sedang ngopi di kafe sambil menghadap laptop, insyaallah dia bisa.
Agus Mulyadi seorang penulis. Ia mau membuat buku indie, diterbitkan sendiri dan dipasarkan sendiri. Ia bisa menulis, bisa menataletak halaman dan bisa mendesain sampul. Tinggal pergi saja ke rumah cetak. Selesai.
Untuk mempermudah memahami ini, coba Anda lihat profesi fotografer. Dulu jarang sekali orang menjadi fotografer karena kamera mahal dan perkakas lain pendukungnya juga tidak murah. Sekarang dengan bekal uang 10 juta, ditambah ketelatenan barang 2 bulan, plus sedikit mental untuk mempromosikan diri dari mulai mendokumentasikan acara kawinan, seseorang sudah bisa jadi fotografer. Itu pun kalau tidak ditolak: “Maaf, keponakan saya juga punya kamera, dia yang akan mendokumentasikan.” Walhasil pertarungan menjadi fotografer semakin keras. Demikian juga pertarungan menjadi desainer visual dan bahkan pembuat film, terutama film dokumenter.
Teknologi membantu meningkatkan kualitas orang yang biasa-biasa menjadi lebih baik. Sebuah media massa di Amerika, lagi-lagi saya lupa persisnya, memberhentikan puluhan fotografernya. Dan cukup membekali wartawan mereka dengan kamera. Bahkan sekarang karena kebanyakan media berbasis internet, kamera pun tidak perlu yang DSLR. Buat apa? Cukup dijepret via kamera gajet. Yang penting fungsinya, bukan?
Makin maju teknologi, makin banyak profesi yang terancam. Bagaimana dengan penulis? Saya akan buka sedikit rahasia.
Penulis sebetulnya tidak terancam dengan kemajuan teknologi. Setidaknya sampai saat ini. Orang yang pintar menulis, tulisannya tetap saja bagus walaupun laptopnya butut. Tapi bagi yang tidak bisa menulis, biar dikasih laptop seharga 20 juta juga tetap gak bisa menulis. Bandingkan dengan fotografi. Saya tidak bisa memotret. Kasih saya kamera dengan harga 10 juta. Saya pasang saja mode ‘auto’. Klik. Beres. Pasti bagus. Setidaknya standar.
Namun penulis gak perlu sombong. Sudah 5 tahun ini ada proyek rahasia membuat program menulis yang dibiayai dan diinisiasi oleh KBEA. Gagasannya begini, kalau ada orang yang tidak bisa menulis, dia cukup mengunduh program tersebut. Lalu ketik saja:
Tema: ….
Bentuk: (misalnya) esai…
Gaya mayor: Goenawan Mohamad
Gaya minor: AS Laksana
Kata: 1.500 kata.
Enter
Brrrrruuuuuuut… jadilah sebuah esai dengan tema yang sesuai diinginkan, dengan gaya seperti Goenawan Mohamad dan sentuhan minor ala AS Laksana. Dalam hitungan detik: 1.500 kata selesai.
Semakin berkembangnya mesin ini, paduan gaya makin kompleks. Anda bisa gabungkan gaya Saut Situmorang dengan Umar Kayam, plus Rendra, diberi lagi sentuhan lembut ala Anton Kurnia.
Nanti berkembang lagi, bikin cerpen. Bahkan bikin novel. Anda bisa bikin novel dengan gaya Kafka, dipautkan dengan gaya Iwan Simatupang, digabungkan dengan gaya Pramoedya. Dan dalam hitungan menit, puluhan ribu kata tercipta.
Mesin ini keren. Dan profesi penulis pun terancam. Maka saya berpesan ke Agus Mulyadi agar selain terus menulis juga belajar senyum yang manis. Supaya bisa menjadi model iklan pasta gigi.
Bagi Anda ahli IT yang tertarik ikut mengembangkan mesin ini bisa mengontak pimpro proyek ini: Muammar Fikrie.