Salah satu pertanyaan yang sering menjadi perdebatan dalam dunia kreatif adalah apakah kreativitas bisa diajarkan?
Sebagian orang berpendapat bisa. Karena itu disusunlah beragam kurikulum, buku panduan, dan metode menjadi kreatif. Sebagian lagi menjawab tidak. Mereka yang menjawab tidak ini, menyatakan bahwa paling banter yang bisa dilakukan adalah membuat stimulus, ekosistem, pemantik, yang bisa melahirkan dan membesarkan kreativitas.
Saya sendiri belum punya pendapat final soal ini. Tapi yang paling aman bagi semua adalah kita harus mengandaikan semua orang punya bakat kreatif, memberi tempat yang nyaman untuk berkreasi, menerapkan sejumlah syarat-syarat yang memungkinkan terjadinya kreativitas.
Dalam dunia menulis kreatif, hal yang kurang-lebih sama juga terjadi. Banyak orang yang ikut kursus menulis kreatif tapi tidak bisa juga. Ada yang tidak pernah ikut tapi seolah mendadak bisa.
Ada satu masa di mana saya keliling Indonesia dari Aceh sampai Papua untuk melatih menulis. Akhirnta saya berpendapat, ada penulis berbakat dan ada penulis terlatih. Penulis terlatih tak perlu punya bakat menulis. Asal punya tekad kuat, disiplin baja, usaha yang keras, dia bisa menjadi penulis. Tapi penulis berbakat tetap tak akan bisa menulis dengan baik jika dia tidak melatihnya. Jadi, punya bakat atau tidak, kalau tidak berlatih menulis sulit menjadi penulis yang baik.
Saya pernah menyusun semacam kurikulum untuk membantu lahirnya ide-ide kreatif untuk menulis. Dia hanya kumpulan pancingan sehingga ide-ide segar bisa bermunculan, dan kemampuan melihat suatu hal dari berbagai sudut pandang kreatif. Intinya: belajar menulis tidak dengan teori menulis lazimnya.
Naskah itu sudah hampir jadi. Tapi lama tidak saya teruskan karena saya saat itu sibuk mempersiapkan Ekspedisi Cengkeh 1. Hari ini seharian saya cari di laptop, tidak ada. Besar kemungkinan itu ada di laptop lama saya, atau di hape yang saya bawa saat ekspedisi. Keduanya entah ada di mana.
Kehilangan naskah? Itu hal biasa bagi saya. Saya tak bersedih. Untuk apa? Sedih tak menbuat naskah saya balik. Lebih baik saya berpikir: naskah itu jelek makanya pantas untuk hilang.