Setidaknya dua orang penulis, secara hampir bersamaan menjumpai saya untuk berkeluh-kesah. Orang pertama, mengeluh kalau sekarang ini ia jarang bisa membaca tuntas sebuah karya, terutama yang diciptakan oleh penulis-penulis lokal (baca: Indonesia). Sedangkan orang kedua, berkesah tentang betapa membingungkannya para kritikus sastra Indonesia, dan betapa ganjilnya cara orang di dalam mengkritik sebuah karya.
Kepada orang kedua, saya mengulang apa yang dikatakan oleh salah seorang teman dekat ketika saya baru saja menerbitkan buku pertama kali. Teman saya saat itu bilang, “Kritik dan sanjungan bisa sama-sama penting dan sama-sama tidak penting, maka pilihlah yang paling nyaman saja.” Kedengarannya sepintas memang sinis, tetapi setelah saya mengalami beberapa hal, nasihat itu ada baiknya.
Kritik kadang kala diajukan hanya karena soal suka dan tidak suka. Tidak percaya? Pernah ada salah seorang teman memberi ke saya sebuah dokumen yang diambil dari situs web, di mana ada seseorang yang mengkritik salah satu karya saya dengan menganggap bahwa karya tersebut dipengaruhi oleh penyunting buku. Tentu saja saya bingung. Lha wong yang nyunting buku hanya bertindak sebagai pemeriksa aksara kok… Saat teman tersebut minta komentar, saya langsung bilang, “Di dunia ini, kadang-kadang ada orang yang pintar sekaligus hati-hati, tetapi ada orang yang bodoh sekaligus ngawur…”
“Yang pertama siapa?”
“Adalah…” jawab saya sambil senyum-senyum.
“Yang kedua?”
“Yang nulis tulisan itu…”
Teman saya ngakak minta ampun. Tentu saja dia ngakak, lha wong dia tahu proses pembuatan buku saya itu… Tapi yang membuat dia ngakak karena betapa sinisnya komentar saya.
Cerita tersebut saya ceritakan ke orang kedua yang berkesah soal kritik-mengkritik. Saya hendak menunjukkan betapa sinisnya saya menghadapi hal seperti itu.
Tetapi sanjungan juga bisa terjadi dengan tidak kalah ngawurnya. Saya menceritakan hal ini kepada orang itu juga. Pernah suatu saat ada orang yang menelepon dari jauh. Dia memuji karya saya yang kebetulan sebelumnya nangkring di sebuah media massa. Dia bilang, “Pengalaman yang hebat seperti di hidup Anda, memang akan menghasilkan karya hebat!”
Batin saya, pengalaman hebat apa. Lha wong karya saya itu saya ambil dari pengalaman orang lain…
Karena mengalami hal-hal seperti di atas, maka layak kalau saya mengiyakan pesan teman saya, kritik dan sanjungan yang sama-sama penting dan sama-sama tidak penting. Pesan itu pula yang saya sampaikan kepada teman penulis yang berkesah tentang kritik yang sering diajukan ke dirinya, dan itu membuatnya agak bersedih.
Tapi orang kedua itu, seorang teman yang juga penulis itu, tetap tidak merasa lega. Ia tetap merasa para pengkritiknya tidak memahami apa yang ditulisnya. Mendengar itu saya dengan enteng menjawab, “Ya anggap sajalah mereka tidak selevel sama kamu… Kamu jauh di atas mereka…”
Teman saya tetap merasa tidak jenak. Ada semacam rasa marah yang memenuhi rongga dadanya. Kemudian saya bilang, “Bung, kalau kamu enggak mau dikritik ya jangan berkarya. Lihatlah sekeliling sampeyan, betapa banyak penulis yang harus menyimpan obsesinya untuk menerbitkan buku. Mereka tidak dapat kesempatan. Kalau sampeyan dapat kesempatan, ya bersyukur. Dan salah satu konsekuensinya ya dikritik. Itu biasa!”
Teman saya cep-kelakep. Tapi saya belum selesai, “Tinggal selebihnya soal sikap sampeyan terhadap kritikan. Kalau enggak enak ya jangan diambil, biarin saja. Gampang, kan… Ngapain susah-susah. Bikin sederhana saja. Tutup mata, tutup telinga, jalan terus. Kalau perlu bilang ke diri sampeyan sendiri begini: orang-orang yang mengkritik karya saya bloon semua. Gampang, kan…”
Teman saya terdiam. Semoga dia baik-baik saja setelah pertemuan itu. Sampai tulisan ini saya buat, kami belum pernah bertemu lagi.
Lalu soal orang pertama yang mengeluh kalau ia sudah tidak bisa menikmati penulis-penulis dalam negeri, saya hanya bisa berkomentar, “Ya enggak usah dinikmati. Beres, kan…”
“Tapi kan itu tidak mendukung buatan teman-teman dan anak bangsa sendiri?” sergahnya mendengar komentar pendek saya.
“Daripada kamu malah bingung-bingung enggak jelas gitu?”
“Aku bingung karena secara kualitas, karya teman-teman itu merosot. Indonesia makin mundur dalam bidang sastra!” omongan teman tersebut malah makin meninggi dan cas-cis-us-nya makin gencar.
Saya bosan sekali. Lalu setelah rentetan kalimat-kalimat itu jeda, dengan segera saya bilang, “Kok saya enak-enak saja ya menikmati karya teman-teman? Mungkin kamu kelewat pintar kali ya…”
Orang itu langung diam. Dia merasa ada yang salah dalam dirinya, mungkin juga dalam diri saya.
“Masak sih?” tanyanya setengah bingung, setengah linglung.
“Iya. Saya menikmati.”
“Kok bisa begitu?”
“Bung, menurutku, sampeyan salah bawa alat dalam membaca buku.” ujar saya.
“Maksudmu?”
“Kalau saya baca buku, saya bawa alat bantal dan menyediakan kopi. Sambil kelekaran, kalau capek, minum kopi. Benar-benar dinikmati.”
“Saya belum ngerti…”
“Kalau sampeyan baca buku, alatnya suryakanta dan pentungan besi.”
“Enggak ngerti…”
“Soalnya, kalau sampeyan baca buku karya teman-teman sendiri, yang sampeyan pikir adalah menemukan kesalahan-kesalahan dan kejelekan-kejelekan isi buku itu…”
Ia diam. Seperti berpikir. Tapi saya kira ia hanya pura-pura berpikir.
“Bung, jangan mau rugi dong. Sampeyan beli buku sudah mengeluarkan duit, masak baca buku harus rugi hati. Nikmati dong. Mulailah dengan semangat menikmati, bukan semangat mencari-cari kesalahan…”
Ia diam. Kali ini, mungkin ia mulai berpikir. Kalau enggak ya kebangeten!
Puthut EA
2 Oktober 2007