Langit yang Menunggu

Langit yang Menunggu

Langit siang itu cerah, terlalu cerah untuk hati yang penuh gelisah. Di bawah langit yang biru tak berbatas, Tono bersama adik-adiknya berdiri di depan pintu kedatangan internasional Bandara YIA. Seragam putih birunya yang sudah lecek, dasi longgar menggantung di leher. Tono sengaja izin pulang lebih cepat dari sekolah.

Sudah lima tahun ia hanya melihat wajah ibu dan bapaknya lewat HP. Negeri padang pasir, kata orang, panasnya luar biasa. Tapi buat Tono, yang paling terasa adalah dinginnya rumah tanpa pelukan mereka.

Di tangannya, ia menggenggam sebuah kertas bergambar 5 orang: dirinya, 2 adiknya, ibunya, dan bapaknya. Gambar itu ia buat waktu kelas empat SD. Sekarang dia sudah kelas delapan.

Pengumuman kedatangan pesawat dari Jeddah terdengar lewat pengeras suara. Tono menahan napas. Degup jantungnya makin kencang.

Satu per satu penumpang keluar. Wajah-wajah asing. Beberapa membawa koper besar, beberapa menggandeng anak kecil. Tapi belum ada yang Tono kenal.

Hingga akhirnya…

“Ibu!” seru Tono tiba-tiba, berlari melewati orang-orang.

Seorang perempuan dengan kerudung hitam dan mata lelah menoleh. Senyumnya langsung mengembang. Di sampingnya, seorang pria berkemeja maroon berhenti mendorong koper dan melepas masker.

Tono dan adik-adiknya memeluk mereka berdua, kencang, seakan tak ingin dunia mengambil mereka lagi.

Langit masih sama birunya. Tapi kali ini, Tono merasa langit itu sedang menunduk, menyapa, dan berkata:

“Mereka sudah pulang.”

*

Minggu pagi di rumah Tono tidak seperti biasanya. Dapur penuh aroma rempah-rempah, wajan berbunyi, dan dua anak SMP sedang berkeringat meski belum lari pagi. Di tengah mereka berdiri Bapak Tono, mantan chef yang baru saja pulang dari negeri padang pasir.

“Ulangi! Tumis bawangnya jangan sampai gosong!” seru Bapak sambil mengarahkan spatula ke arah Dipo.

“Siap, Om Chef!” jawab Dipo dengan gaya hormat, wajahnya belepotan tepung.

Tono ngguyu. “Jangan lebay, Dip, ini lomba masak sekolah, bukan MasterChef Indoooo!”

Tapi diam-diam, Tono juga gugup. Lomba memasak antarkelas di SMPN 9 Yogyaraya sudah tinggal lima hari lagi, dan kelas mereka 8B mengandalkan Dipo dan Tono sebagai wakil. Ga ada yang menyangka dua anak cowok ini akan jadi peserta masak. Tapi Tono tahu, ini lebih dari sekadar lomba. Ini tentang membuat sesuatu bersama, tentang belajar dari bapaknya, dan tentang membuktikan kalau cowok juga bisa jago di dapur.

Dua hari sebelum lomba, mereka akhirnya memutuskan nama masakan mereka: Nasi Rempah Sahara dengan potongan ayam panggang. Ide dari Bapak, modifikasi nasi kebuli dengan bahan-bahan yang mudah dicari di pasar dekat rumah.

“Rahasianya ada di bumbu ini,” kata Bapak, sambil menyodorkan campuran bubuk-bubuk. “Ini bukan sekadar masakan. Ini cerita. Cerita tentang tempat jauh, rasa rindu, dan harapan pulang.”

Tono diam, matanya menghangat. Ia tahu maksud bapaknya.

Setelah latihan berhari-hari, akhirnya Tono dan Dipo siap di lomba masak antarkelas. Mereka pede dengan menu Nasi Rempah Sahara, resep spesial dari Bapaknya Tono yang mantan chef di negeri padang pasir. Semua bahan sudah disiapkan, teknik sudah diasah, dan kekompakannya, ngapain diraguin.

Tapi sehari sebelum lomba, sebuah kejadian mengejutkan terjadi.

Saat pulang dari koperasi sekolah, Dipo melihat dua anak dari kelas 8C Rama dan Erik sedang memotret lembar resep yang tertinggal di ruang OSIS. Itu resep Nasi Rempah Sahara!

“Eh! Ngapain kalian?” bentak Dipo.

Kedua anak itu kaget, tapi buru-buru kabur tanpa menjawab. Dipo mengambil kembali resep itu, wajahnya memerah.

Keesokan paginya, kejutan lain menunggu. Saat lomba dimulai, Rama dan Erik dari 8C juga menyajikan Nasi Rempah-Rempah Timur Tengah dengan plating yang sangat mirip!

Tono mendesis pelan. “Mereka… nyontek.”

Dipo menatap sahabatnya. “Kita laporin?”

Tono diam sejenak. Lalu menggeleng. “Enggak. Kita buktiin aja kalau rasa kita tetap enak.”

Hari H telah datang. Lapangan sekolah ramai. Meja-meja lomba berjajar. Wali kelas, guru-guru, dan juri dari luar sekolah memeriksa dengan cermat. Ada yang masak ayam bakar madu, ada yang bikin pancake, dan ada yang cuma sibuk selfie.

Meski hati panas, mereka tetap fokus. Dengan bimbingan terakhir dari Bapak Tono yang menonton di pinggir lapangan, mereka menambahkan sentuhan terakhir saus sambal manis asam yang tidak tercantum dalam resep tertulis.

Tono dan Dipo bekerja seperti dua robot kompak. Iris, tumis, kukus, dan plating. Wangi nasi rempah mereka mulai menarik perhatian. Bahkan Bu Dewi guru IPA yang biasanya galak, mampir dan berkata, “Ini baunya… luar biasa ya, Le.”

Dipo menyenggol Tono, “Gagal jadi anak IPA, kita sukses jadi anak dapur!”

Tono nyengir. “Lebih baik jadi anak yang bisa bikin orang lapar!”

Hasilnya?

Meja mereka ramai dikerubungi juri. Bahkan Pak Bambang, kepala sekolah yang dikenal hemat pujian, sampai berkata, “Ini seperti makan di hotel, Le. Serius.”

Sementara meja Rama dan Erik sepi komentar. Wajah mereka mulai cemas.

Satu jam kemudian, pengumuman pun tiba.

“Juara satu… dari kelas 8B! Dengan menu ‘Nasi Rempah Sahara’!”

Tono dan Dipo melonjak. Wali kelas mereka menjerit kegirangan. Dipo mengangkat piala tinggi-tinggi, sementara Tono menatap ke arah sudut lapangan, tempat bapaknya berdiri tersenyum bangga sambil menyeka mata.

Hari itu, mereka bukan cuma membawa pulang piala.

Mereka membawa kenangan, ilmu dari bapak, dan rasa percaya diri yang belum pernah mereka punya sebelumnya.

Dan semua itu, dimulai dari satu resep.

Tamat

Artikel Terkait