Cerita ini sederhana saja. Seorang kawan muda, belum seperempat abad usianya, belum lama ini pergi naik keretapi dari Jakarta ke Yogya. Tiket sudah dipesannya jauh hari, dan kemujuran bersamanya. Tiket ekonomi yang biasanya seharga 160 ribu rupiah itu, didapat dengan harga 80 ribu rupiah. Tiket keretapi memang tidak pasti. Seperti nasib.
Dua jam sebelum berangkat, dia sudah berada di atas ojek dari daerah UIN Ciputat ke Stasiun Senen. Waktu normal, mestinya hanya butuh kurang dari sejam. Tapi nasib berkata beda, jalanan macet. Sampai di Senen, keretapi sudah hendak berangkat.
Dia bergegas berlari, melompat ke dalam keretapi. Begitu duduk, dia tahu, perjalanan ini akan terasa panjang dan menyiksa. Pasalnya sederhana. Dia berangkat saat belum makan. Berpikir, nanti makan di stasiun saja. Uangdi sakunya cuma ada 500 perak. Ya, koin 500. Pikirnya juga sederhana, sampai stasiun mau mengambil uang dulu di ATM, baru kemudian makan.
Nasib naas benar-benar menimpanya. Air minum tak bawa. Uang tunai tiada. Uang yang ada di rekeningnya, tak berguna sama sekali. Sepanjang perjalanan, perutnya melilit kelaparan, rasa dahaga tak tertahankan.
Setiap ada kru kereta yang lewat dengan menu nasi goreng dan kopi, perutnya makin meronta. Setiap ada penumpang yang menyantap bekal, perutnya berkeriuk.
Tidur tak bisa. Pikirannya buntu. Dingin ac kereta makin membuat semuanya merana. Waktu terasa panjang. Seperti azab. Sembilan jam perjalanan seperti terasa begitu lama.
Begitu keretapi sampai Yogya, hal yang pertama dilakukan tentu saja masuk ke bilik ATM. Mengambil uang sebanyak yang bisa dia ambil. Begitu keluar dari bilik ATM, dia banting duit itu sambil berkata, “Betapa tak bergunanya kau ketika aku membutuhkan!”
Para tukang angkut barang yang melihat kejadian itu merasa heran. Sambil mungkin berharap sesuatu. Tapi mereka kecewa karena uang yang telah dibanting itu diambil lagi oleh tokoh kita, sambil melenggang mencari ojek, meminta diantar ke warung burjo terdekat.
Dia memesan Indomie goreng 2, telor 2, dan teh panas. Sambil menunggu pesanannya datang, dia menghabiskan tempe goreng dan bakwan 8 biji.
Itu prosesi makan paling enak yang pernah dia alami.
Pagi ini, dia mengantarkan makanan untuk saya yang sejak semalam menahan lapar. Sebelum saya santap makanan ini, dia ceritakan kisahnya yang belum lama terjadi.
“Kamu ke Yogya dalam rangka apa waktu itu?”
Laki-laki muda tokoh kita itu tersenyum. Malu-malu. “Untuk agenda asmara, Mas…”
“Ooo mengunjungi perempuan yang selalu menolakmu itu ya?”
“Ya, Mas. Tapi semenjak tragedi gak bawa uang itu, saya jadi tahu, asmara tak ada apa-apanya dibanding rasa lapar, haus, dan kedinginan. Saya lebih memilih kenyang.”
“Baguslah…” ujar saya sambil membuka bungkusan yang diantarnya, lalu mengupas pete dan mencocolnya ke sambal.