Hampir sebulan Kali sekolah. Setiap dia masuk sekolah, gurunya memberi laporan aktivitas apa saja yang dilakukan bocah berumur 2 tahun 8 bulan ini. Gurune kesregepen, batin saya kalau sedang membaca laporan tertulis tentang Si Kali.
Setidaknya ada sekali dalam seminggu Kali membuat teman sekelasnya menangis. Ada yang karena tabrakan bodi. Kali memang suka menabrak-nabrakkan tubuhnya ke apa saja, lalu pura-pura terjatuh dan tertawa. Kata istri saya yang mengantar Kali sekolah (saya belum pernah mengantar satu kali pun), beberapa teman Kali juga suka menabrak-nabrakkan tubuh mereka. Walhasil mereka saling menabrakkan diri. Dan pecahlah tangis teman-teman Kali.
Suatu saat, istri saya melaporkan, Kali bikin bocor mulut seorang temannya. Saya langsung syok. Saya pikir, saya ini orang paling manis dan paling damai di seluruh dunia, apalagi ibunya, masak anak kami hobi berkelahi. Tentu ini bukan perkelahian. Saking penasarannya, saya mencoba mengajak berkomunikasi Si Kali. Walaupun bingung juga bagaimana ngajak ngobrol anak seusia itu.
“Nak, kenapa kamu bikin nangis temanmu?”
Kali diam. Lalu malah cengengesan sambil main mobil-mobilan. Pusing saya. Istri saya kemudian bercerita, ada teman Kali yang main sembunyi-sembunyian di kolong tangga. Kali ikut sembunyi. Tidak lama kemudian, Si Teman menangis dan mulutnya berdarah.
Masak sih sampai berdarah, memang diapain sama Si Kali?
“Nak, kamu apakan temanmu?” kembali saya mencoba bertanya.
Kali geleng-geleng kepala sambil bicara dalam bahasa UFO yang tidak saya pahami. Lalu dia memperagakan adegan mendorong.
Ooo… “Lha kenapa kamu dorong temanmu?” Tapi segera saya menyadari betapa bodohnya saya. Anak belum berumur tiga tahun kok diminta menerangkan.
Akhirnya saya sedikit lega karena menurut istri saya, Kali sudah meminta maaf.
Masih menurut laporan dari gurunya, Kali lebih suka main sama anak-anak yang berumur di atasnya. Di sekolah Kali, ada juga anak-anak TK. Kalau mereka istirahat, kadang masuk ke kelas Si Kali. Hanya Kali yang kemudian ikut nimbrung main bersama mereka.
Kalau dengan teman-teman sebayanya, Kali cenderung suka iseng. Temannya sedang pegang mainan, dia merebut. Kalau temannya mau menangis, dia kasih. Sepatu temannya dipakai, kursi temannya dinaikin.
Soal iseng, jangankan temannya, kami saja sering dibuat kalang kabut. Beberapa hari yang lalu misalnya, malam hari, hujan hampir turun, saya mau beli makan malam di luar. Saya cari kunci vespa tidak ketemu. Istri saya ikut mencari. Tidak masuk akal. Saya mulai curiga, kunci itu “disembunyikan” Kali. Saya mencoba mengajaknya bicara, menanyakan kunci.
” Ai idak auuu…” jawabnya.
Kembali kami mencari kunci yang lenyap tanpa sebab itu. Tiba-tiba Kali teriak, “Ai aaauuuuu!”
Segera saya ikuti Si Kali. Ia menuju lemari. Nah, kaaaaan… saya hampir lega. Tapi segera menepuk jidat begitu Kali mengambil kunci lemari sambil menjuntai-juntaikan kunci itu sambil bilang, “Ini unciiii!”
Kembali kami mencari kunci. Saya mulai kesal. Istri saya juga. Hujan mulai turun. Kembali Kali melompat-lompat sambil teriak, “Ai aauuuuu!”
Saya tidak percaya. Pasti saya mau dikerjain lagi ini. Kali lari ke kamar. Saya tidak mau tertipu. “Ni unciii! Ni unciii!” katanya sambil menunjuk-nunjuk di balik bantal. Saya segera lari dan membalik bantal. Ada kunci memang, tapi lagi-lagi kunci lemari!
Saya dan istri saya akhirnya hanya bisa duduk-duduk di kursi. Capek. Tiba-tiba istri saya mengambil tas raket badminton yang barusan saya beli. Dia memeriksa kantong tas itu. Segera dia teriak, “Nah ini dia!”
Ketemu! Di kantong tas raket yang barusan dipakai main-main Si Kali. Kami berdua melihat ke arah Si Kali dengan muka sebal, tapi Kali malah tertawa sambil lompat-lompat.
Hujan makin deras. Mau tidak mau saya tetap keluar mencari makan. Eh, belum selesai. Baru mau buka pintu, tangan saya dilendoti Kali sambil dia berteriak, “Ai iku naik espa! Ai iku naik espa!”
Hhhhhhhhhhhh!