Sejak remaja, Gus Baha’ sudah sering diberi latihan intelektual oleh almarhum ayahnya, yang juga dikenal sangat alim. Salah satu latihan intelektual yang pernah diberikan oleh sang ayah seperti ini…
Alkisah ada seorang imam, yang karena konsentrasi ingin membacakan surah tertentu pas memimpin salat, dia lupa membaca Alfatihah. Begitu habis takbir, dia langsung membaca surah tersebut. Sesuai kaidah salat, makmum mengingatkan dengan membaca ‘Subhanallah’. Sang imam lalu mengulang lagi surah itu. Makmum mengingatkan lagi. Akhirnya imam pun mengganti surah yang dibacanya dengan yang lebih pendek lagi. Makmum lagi-lagi mengucapkan ‘Subhanallah’. Imam mengulang lagi. Demikian seterusnya. “Menurutmu gimana itu solusinya, Ha’?’ tanya almarhum Sang Ayah.
Latihan intelektual semacam ini pula yang menautkan persamaan pendapat antara Gus Baha’ dengan almarhum Pak AR Fachrudin. Dulu, Pak AR pernah ditanya orang dan bikin geger. Pertanyaan itu kira-kira begini: Kalau ada orang menang SDSB sebesar 1 miliar, bolehkan uangnya disumbangkan untuk masjid? Jawaban Pak AR: boleh. Sontak jawaban itu menuai banyak protes. Sebab kaidah lazimnya adalah kebaikan itu hanya boleh dibiayai dari uang halal. Jawaban Pak AR sederhana: “Lha kalau tidak boleh, uang sebesar itu nanti hanya boleh dipakai untuk kejahatan. Makin bahaya lagi.”
Kalau Anda sering mendengar pengajian Gus Baha’, hal semacam ini dengan beragam versi, bisa dijawab dengan baik oleh beliau. Intinya: serupa secara substantif dengan jawaban versi Pak AR.
Dalam pengajian-pengajiannya, Gus Baha’ juga sering memberi latihan intelektual kepada santri-santri beliau. Ini salah satu latihan intelektualnya. Saya ubah sedikit supaya lebih kontekstual dan mudah dipahami.
Sebentar lagi, di berbagai pelosok Indonesia akan digelar Pilkades. Kepala Desa adalah jabatan politik yang sangat strategis karena berkaitan langsung dengan kehidupan warga.
Kalau terdapat dua atau tiga calon, lalu ada satu atau dua calon yang dikenal hidupnya suka memalak, mengumpulkan para preman, menyeponsori pembalakan hutan, merusak sumberdaya alam desa, dan dia berpotensi menang karena sebagian warga bersikap pragmatis yakni tergantung pada siapa pemberi amplop terbanyak.
Lalu ada satu calon yang dikenal baik, lurus, tak mau membuat kerusakan di muka bumi, orangnya amanah. Satu-satunya jalan yang tersedia untuk memenangi pertarungan itu adalah dengan cara memberi amplop juga kepada para pemilih pragmatis. Maka apa yang sebaiknya dilakukan? Tidak memberi amplop berarti kalah, yang itu artinya akan mempertaruhkan masa depan desa kepada calon kades yang serakah dan destruktif. Kalau memberi amplop itu berarti ikut serta melakukan kekeliruan.
Tidak usah dijawab di sini. Latihan itu untuk kita renungkan bersama. Terutama bagi Anda yang sebentar lagi akan menghadapi perhelatan pilkades…