Sudah 20 tahun saya tinggal di Yogya tapi belum pernah sekalipun merasakan Lebaran di kota ini. Kali ini, kalau tidak ada perubahan jadwal mendadak, saya akan mengalaminya.
Sebetulnya tahun 2012, ketika Lebaran tiba, saya berada di Yogya. Tapi saat itu saya sedang dalam kondisi sakit. Seminggu sebelum Lebaran, saya masuk rumah sakit untuk operasi wasir. Selama hampir sebulan saya terkapar di rumah. Saat itu di Yogya, tapi tidak “mengalami” Lebaran.
Karena sedikit penasaran dengan suasana Lebaran di Yogya, mulai dari kemarin, setiap habis Magrib saya luangkan sedikit waktu untuk sejenak berkeliling Yogya. Melihat apa kira-kira yang membedakan Yogya ketika menjelang Lebaran dengan hari-hari biasa, selain mobil-mobil plat B yang berjejalan di jalan.
Kalau Lebaran di kampung, saya hanya njegonggok di dalam kamar. Capek rasanya harus tersenyum, berjabat tangan, berbasa-basi. Saya tidak begitu bisa menikmati basa-basi.
Sejak kecil, saya tidak begitu suka Lebaran. Terakhir yang saya ingat, saya menikmati Lebaran ketika kelas 4 atau 5 SD. Setelah itu hambar. Ingin cepat melalui Lebaran, lalu situasi berubah menjadi hari-hari biasa. Tanpa pura-pura tersenyum, dan berbasa-basi mengucapkan “Minal aidzin wal faidzin”.
Ada beberapa momentum Lebaran yang begitu saya ingat kejadiannya, sekalipun tidak dalam arti menyenangkan. Pertama, ketika malam Lebaran. Seperti biasa, saya bergabung dengan teman-teman di kampung untuk minum arak. Saya sudah mabuk berat dan tertidur di pangkalan ojek ketika tiba-tiba saya mendengar orang-orang menjerit di sekeliling saya. Mabuk saya langsung hilang ketika mendapati orang di samping saya berdarah perutnya. Ternyata ketika saya tertidur, ada perkelahian di dekat saya. Dia tertusuk perutnya. Segera saya menggedor beberapa rumah terdekat untuk meminjam mobil dan “memaksa” yang punya mobil untuk mengantarkan korban ke rumah sakit di Rembang sejauh 40an km. Tentu, saya ikut menemaninya.
Saya baru balik persis ketika salat Id akan dimulai. Rasanya aneh sekali. Kepala saya berat. Badan saya melayang. Tangan saya masih penuh darah. Dan saya berpapasan dengan orang-orang yang hendak menunaikan salat Id.
Di kampung saya, mungkin saya orang yang diingat, datang salat Id lalu tertidur di ruang tamu orang. Kejadiannya selalu hampir mirip. Malam Lebaran, seperti biasa saya bergabung dengan teman-teman kampung untuk minum arak. Tapi kayaknya terlalu banyak dan sampai Subuh. Karena tidak enak dengan orang tua saya, cepat saya mandi lalu berangkat ke masjid. Di depan masjid ada dua rumah yang biasa dipakai nongkrong jika menjelang salat Id. Saking tidak kuat menahan kantuk dan mabuk, saya masuk di salah satu rumah itu, lalu tidur di lantai ruang tamu.
Saya baru dibangunkan teman-teman saya ketika salat Id sudah rampung.
Saya mungkin orang yang pertama kali juga membawa minuman ke masjid ketika salat Id. Pasalnya juga sederhana. Saat itu saya juga mabuk berat. Ibu saya membangunkan untuk salat Id. Sudah saya guyur kepala saya berkali-kali tapi rasa kantuk tidak hilang juga. Akhirnya saya membuat kopi, terus saya cangking ke masjid. Sementara orang-orang takbiran, saya duduk-duduk di emperan orang bersama beberapa kawan lain, sambil nguyup kopi, berusaha menghilangkan rasa pening dan mual karena efek alkohol. Semenjak itu, tidak afdol rasanya jika saya ke masjid tidak membawa minuman. Takbiran kan juga butuh minum…
Tapi salah satu momentum Lebaran yang paling saya ingat adalah ketika saya menangis keras saat sungkem ke kedua orang tua saya. Waktu itu, saya merasa menjadi anak yang tidak berguna. Sakit jantung ibu saya kumat, dan bapak saya terancam lumpuh. Saya menangis keras sekali setelah beberapa tahun bertarung dengan emosi yang meluap, berusaha mencari cara agar keduanya bisa sembuh. Tapi saya gagal.
Saya sangat bersyukur sekali, sekian tahun kemudian, ibu saya melewati operasi jantung yang menguras air mata, dan bapak saya lolos dari ancaman lumpuh. Keduanya sekarang segar bugar. Alhamdulillah… Tuhan menyembuhkan mereka berdua.
Selamat mudik, Teman-teman… Jangan nakal-nakal. Jauhi alkohol, tapi jangan jauh-jauh