Jika ada di antara Anda yang masih bermimpi menjadi legenda, nampaknya Anda harus memikir dan menimbang ulang. Dunia sekarang ini, sudah tidak butuh lagi, lebih tepatnya tidak memungkinkan lagi muncul sosok legenda. Jadi, daripada Anda sakit jiwa karena mimpi Anda tidak tercapai, lebih baik mulai sekarang mengganti mimpi Anda dengan mimpi yang lain, yang lebih masuk akal.
Soal utama, sudah banyak dikupas oleh orang pintar yakni hambatan itu muncul karena pergerakan zaman. Modernitas sudah terlalu menciptakan banyak hal, termasuk kecepatan dan penggandaan, yang kadang melelahkan dan menjemukan.
Lihat saja dalam kerja kamera. Dengan ditemukan dan semakin matangnya kamera digital, proses perekaman nyaris tidak mengalami kendala teknis. Media penyimpanan yang besar, murah dan efisien menjadi barang lumrah. Cara kerjanya pun lebih mudah, prosesnya tidak bertele-tele. Risikonya, proses seleksi menjadi tidak terkontrol lagi. Semua orang bisa memegang kamera, semua orang mengabadikan peristiwa, dan semua orang menjadi saksi-mata yang kampiun. Oleh-oleh dari itu adalah melubernya ribuan hasil foto di komputer setiap orang. Sehingga untuk melihat ulang pun nyaris menguras energi. Modernitas mendemokratiskan kesempatan dan keahlian, tapi sekaligus membanjiri dunia ini dengan banyak dokumentasi.
Televisi menumpuk dan mengelola uang yang harus digulirkan dengan cepat. Maka, kita bisa menyadari mengapa sekarang ini, seorang pemain film atau bintang sinetron hanya bisa kita ingat namanya dalam hitungan minggu atau hari, bahkan pemain sepakbola pun semakin pendek usia produktifnya.
Datang dan perhatikan juga ke toko buku. Para penulis datang bergelombang, massif, membeli buku sampai bingung, mengingat nama seorang pengarang juga semakin bingung.
Di zaman ini, semua pekerja berusia sangat pendek. Tidak peduli bintang film, bintang bola, penulis, dan bintang-bintang lain.
Percepatan tidak mengijinkan penumpukan modal terlalu lama, juga modal ketenaran. Tahun kemarin muncul grup musik yang kemudian dianggap akan menjadi legenda, tapi kemudian hanya butuh satu-dua tahun kemudian, ketenaran grup musik itu pasti rontok. Ini bukan zaman The Doors atau Koes Plus. Tidak akan ada lagi Iwan Fals atau Rhoma Irama. Media massa-lah yang mengesahkan Anda untuk muncul, dan mereka bergerak terlalu cepat, tidak bisa menunggu Anda terlalu lama, dan sekali memunculkan orang, tidak mungkin satu-dua.
Lihat juga di medan glamor sepakbola. Setiap hari, media massa menyoroti apa yang sering mereka sebut sebagai ‘calon legenda’, dan hasilnya, begitu banyak yang mereka sebut, begitu banyak yang harus kita ingat dan perhatikan, dan karena itu, pastilah para calon legenda itu hanya calon saja, tidak pernah beranjak jauh-jauh dari sana. Percepatan modal di bisnis sepakbola dan jagat informasi yang mengelilinginya sudah bukan di zaman Pele dan Maradona.
Para penulis gres juga banyak muncul. Nama-nama berkibar cepat. Semua nama dikerek dan dikibarkan. Semua minta diingat, semua mengelus-elus karya aduan mereka. Dan toko-toko buku penuh dengan karya. Penerbit-penerbit muncul dan gulung tikar, yang bertahan terus memassifkan produksi. Tidak ada yang bisa diingat, tidak ada yang bisa ditandai. Semua luntur dengan cepat. Tentu, ini bukan zaman Amir Hamzah atau Pramoedya.
Karena itu, bagi orang-orang yang menginginkan mereka menjadi legenda, mereka telah salah zaman. Mereka yang beranggapan akan mampu menelorkan kaya-karya gemilang, adalah orang-orang yang salah membaca gerak zaman. Alih-alih menghasilkan karya gemilang, gagasan seperti itu pun harus segera digudangkan.
Alasannya jelas bukan pada karya semata, tetapi dalam proses dan ihwal yang mengelilinginya. Semangat modernisasi menanggung beban itu. Demokratisasi karya, sejak awalnya memang hendak mengganjal cita-cita masyur. Dewa-dewa dirontokkan ke bumi, digantikan manusia. Berhala-berhala legenda dihancurkan dan digantikan dengan orang-orang biasa.
Dan teknologi, dengan sihir kecepatannya dan pelipatgandaannya adalah agen sibuk yang mampu menyukseskan agenda banal itu. Merayakan yang biasa dengan sibuk, dan setiap sibuk menyingkirkan jauh-jauh khusuk.
Apalagi jika demokratsisasi karya dipajang pada etalase yang telah dibandrol. Etalase yang penuh warna itu bernama media massa.
Semangat Chairil Anwar ‘semua dicatat, semua mendapat tempat’ yang disulut oleh telatnya menerima bocoran modernitas (Barat, tentu saja), kini sampai kepada tahapan ‘semua dicatat, semua dapat tempat, tapi tidak untuk diingat’.
Maka tidak salah kalau para selebriti, apapun jenis profesi mereka, semakin khawatir, dan semakin sadar untuk menggunakan aji mumpung. Mumpung terkenal, segera keruk uang, sebab itu hanya sangat sebentar. Justru yang seperti itu, bisa membaca gerak zaman. Selagi punya warna, tebarkanlah pesona, sebab sebentar lagi pasti sirna.
Modernitas-demokratisasi-teknologi tinggi, bukannya tanpa risiko. Sialnya, semua ini dirayakan tanpa kesadaran akan risiko tersebut dan masih terus menagih yang eksklusif dan agung. Kalau hal seperti itu masih ditagih, datang saja ke museum, semua pasti tersimpan rapi di samping kapak batu dan kertas kayu.
Maka ini adalah zaman para medioker, lautan nama dan kerja yang berbuih banyak dan gampang meletus untuk larut entah ke mana. Jika di zaman para medioker ini masih saja ada orang yang menyimpan obsesi menjadi legenda, ini yang aneh.
Kalau Anda penyanyi dan masih ingin berlaga dengan karya di album dan di televisi, kalau Anda pemain sepakbola yang masih ingin berlaga di klub-klub besar dan liga-liga ternama, kalau Anda penulis dan masih butuh buku dan media massa sebagai media ekspresi, buanglah segera gagasan Anda yang sok Agung tapi jadul itu. Kecuali jika Anda telah memilih batu besar dan kesendirian, lautan biru dan kesunyian.
Untuk memudahkan penjelasan saya, ini semua seperti kamera digital Anda. Gampang, murah, jeprat-jepret sebanyak-banyaknya, lalu takluk dan putus asa sendiri dengan seluruh dokumen yang Anda miliki.
Kalimat kuncinya ini: Zaman sekarang mengkondisikan ingatan orang sependek mungkin, untuk segera mengingat yang lain. Mesin yang menggelindingkan itu semua bernama uang, yang sudah pula berubah takdir, bukan hanya semakin cair, tapi juga semakin digital, dan semakin maya.
Legenda membutuhkan ingatan yang panjang. Zaman sekarang menghendaki ingatan yang pendek. Semakin pendek ingatan orang, semakin cepat perputaran uang.
“Tapi pasti kan ada perkecualian…,” demikian sanggahan Anda, untuk menentramkan diri.
“Iya, deh…,” jawab saya untuk menentramkan Anda, “tapi sepertinya bukan Anda.”
Saya juga butuh menentramkan diri.
Puthut EA
26 Februari 2007