Sabtu malam. Habis Magrib. Aku sedang di kamar. Menyelesaikan beberapa pekerjaan. Telepon berdering. Dari sahabatku.
“Kamu tidak apa-apa?”
Enggak. Kenapa?
“Coba cek anakmu sekarang juga. Istrimu sekarang juga!”
Anak dan istriku lagi ada di Kudus.
Hening.
“Tidak ada siapa-siapa di rumahmu?”
Tidak. Eh, sebentar… Aku melompat dari kursi kerja, setengah berlari menuju ke belakang rumah.
Ada Eka Pocer. Kataku. Berdesis. Dia sedang tidur di gazebo belakang rumah.
“Siapa dia?”
Kawanku. Penjual buku.
“Cepat cek dia! Nafasnya. Mulutnya!”
Sebentar. Aku letakkan hape di meja makan. Sambil berjingkat aku mendekatinya. Semua kucek. Aman. Tak ada apa-apa.
Tidak ada apa-apa.
“Kapan dia tiba?”
Tadi sebelum Magrib.
“Kenapa dia bisa ke rumahmu?”
Kamu kenapa?
“Ini penting. Jawab saja.”
Aku memintanya datang. Aku butuh beberapa buku, habis Isya nanti, aku mau minta dia menemaniku ke toko buku.
Hening.
Kenapa?
“Begini, kamu malam ini potong rambut ya?”
Oke. Aku memang punya rencana mau potong rambut. Tapi mau menunggu istriku pulang dulu.
“Malam ini.”
Oke, malam ini.
“Kalau sudah potong rambut, kabari aku. Kalau terjadi apa-apa sama Eka temanmu, kabari aku.”
Ya, aku akan kabari kamu. Tapi ngomong-ngomong ada apa?
“Sudah lakukan saja.”
Telepon mati. Aku merutuk. Aku kembali mendekati Eka. Mau kubangunkan tapi tidak tega. Akhirnya aku menyambar handuk. Mandi.
Usai mandi, aku kembali menekuri pekerjaanku, sambil mengirim pesan ke Eka: Kalau sudah bangun, aku sedang di kamar. Terkirim. Terbaca.
“Mas, maaf ya, aku ketiduran.” Muka Eka nongol di pintu.
Kami berdua berangkat. Begitu keluar dari perumahan, aku bilang kepadanya kalau aku mau potong rambut dulu. Dia mengiyakan. Aku meliriknya. Dia tampak tidak apa-apa. Lega.
Tukang cukur pertama yang kami tuju, tutup. Eka lalu mengarahkan ke tukang cukur langganannya. Lagi-lagi tutup. Kami menuju ke tukang cukur ketiga, agak jauh, di dekat selokan Mataram UGM, ke timur lagi, menuju UNY. Tutup lagi. Waktu hampir menunjukkan pukul 20.00. Aku mulai gugup.
Eka mengarahkan ke langganannya satu lagi. Selokan Mataram, persis di pertigaan menjelang Jalan Gejayan, belok kanan. Berbeda dengan semua jalanan di Yogya yang padat merayap, gang yang kami telusuri sangat sepi. Hanya ada mobil yang kusetiri.
Tutup lagi. Kontol.
Aku mulai panik. Segera mobil melaju kencang ke menembus Jalan Gejayan, belok kiri. Sampai pertigaan, belok kiri lagi. Kembali menyusuri Selokan Mataram. Ke barat terus. Kalo ini aku hanya diam.
Perempatan Pos Polisi UGM, setir kubanting ke kanan. Benar firasatku. Ada kios tukang cukur rambut yang buka d kiri jalan. Mobil kuparkir di depan apotek K24.
Turun dari mobil, setengah lari aku menuju ke gerai cukur rambut. Khawatir tak dapat antrean. Tiba-tiba aku teringat Eka. Tubuhnya terhuyung masuk ke K24.
Kamu kenapa? Seruku setengah berteriak.
“Mas ke tempat cukur rambut saja. Aku beli Tolak Angin dulu.”
Cepat aku masuk ke gerai cukur rambut. Sepi. Aku menarik nafas panjang. Hanya ada aku dan seorang tukang cukur.
Potong pendek rapi. Pintaku.
Hatiku merasa tak enak. Apapun pertanyaan tukang cukur hanya kujawab iya dan tidak. Sampai kemudian aku lega ketika Eka masuk. Dia terhuyung lagi.
Kamu baik-baik saja?
“Hanya mual, Mas…”
Cukur rambut selesai. Aku dan Eka keluar. Di dekat tiang listrik tiba-tiba Eka terjatuh. Untung dia sempat meraih tiang listrik itu.
“Mas beli makan saja, dibungkus. Aku di sini.”
Aku penuhi permintaannya. Asal cepat. Aku membungkus dua porsi ayam goreng.
Cepat kami pulang.
“Mas, aku tidur di rumahmu ya…”
Kamu harus tidur di rumahku. Kamu tidak boleh pulang dulu.
Begitu tiba di rumah, Eka tidak menyentuh makanannya, langsung menuju kamar kerjaku. Merebahkan tubuhnya.
Aku segera mengabari sahabatku, menceritakan semua yang terjadi.
“Untung lebih dulu kamu cukur rambut daripada dia jatuh.”
Kenapa?
“Kisahnya bisa berbeda jika yang terjadi sebaliknya. Dari dulu aku selalu heran kenapa kamu selalu mendapat keberutungan-keberuntungan yang tak masuk akal. Mestinya yang kena kamu. Di detik terakhir kamu lebih cepat memotong rambutmu daripada jatuhnya temanmu. Kamu benar-benar beruntung. Sejak dulu. Selalu kuingat itu. Sebetulnya hanya itu yang membedakan kamu dengan yang lain.”
Telepon terputus. Aku terdian, lalu makan malam sendirian. Sambil sesekali mataku mengawasi Eka yang menggeletakkan tubuhnya di atas kasur, di ruang kerjaku.
Dia belum makan malam.