Di antara tiga liga yang paling menarik sejagat, hanya Liga Spanyol yang paling jarang saya tonton. Paling pas Madrid melawan Barca, atau derby, oh sungguh kata “derby” terasa ampang di kompetisi ini, antara Atletico kontra Madrid.
Kalau Liga Inggris kadang-kadang saya masih menonton. Masih ada Leicester dengan Si Dracula Vardy yang ganas dan menakutkan, serta sering membuat grogi barisan belakang lawan sehingga hal itu menjadi hiburan tersendiri. Ada MU yang sudah dua musim ini layak ditertawakan karena bukan hanya kehilangan karakter bermain mereka, tapi sering kali seperti segerombolan badut di lapangan hijau yang sedang belajar mengumpan bola. Ada Liverpool yang lagi-lagi masih belum konsisten bermain, padahal sudah dilatih oleh Klopp. Mungkin supaya Liverpool lebih konsisten bisa dilatih Haji Lulung.
Liga Spanyol memang liga paling tidak menarik sebab di sana hanya ada dua bintang. Barca dan Madrid. Permainan keduanya atraktif. Meminjam istilah Filsuf Bola kebanggaan saya, Lord Edo, bukan representasi dari kita: manusia. Jika sebuah drama, terlalu sempurna, dan karena itu malah kehilangan daya pikatnya. Anda seperti diperlihatkan acara baris-berbaris ala militer, rapi, tak ada kekeliruan, tegas, presisi, dan karena itu kadang kita merasa sedang menonton barisan robot.
Liga Spanyol menarik justru menurut saya bukan karena pertandingannya tapi karena ada Ronaldo dan Messi. Dua orang yang seakan dianggap sebagai kompetitor papan atas. Punya massa fanatik masing-masing. Dihadap-hadapkan.
Keduanya bagi saya juga menarik, jika cara melihatnya lebih menunduk. Menempatkan mereka sebagai manusia.
Terlahir sebagai bocah yang kekurangan hormon tertentu dan terancam “kunthet”, Messi yang penuh bakat itu berjibaku sejak kecil. Seluruh usaha medis dilakukan, dan tetap “hanya” bisa membuat tubuhnya setinggi 169 cm. Persis tinggi badan saya. Terlalu pendek untuk ukuran para legenda sepakbola, kecuali Maradona. Tapi bakat besar, didukung oleh sistem pendidikan sepakbola terbaik ala La Masia, Messi melewati batas kerkahan hormonalnya. Dia bakal menjadi legenda. Namanya akan abadi dalam dunia sepakbola.
Sementara Ronaldo adalah figur yang, dalam sejarah sepakbola dunia, sering digambarkan sebagai seseorang yang tidak bisa dikalahkan dalam soal disiplin dan kerja keras. Dia sadar punya bakat, tapi tak besar-besar amat, hanya saja dia tahu, pada banyak hal, bakat tak ada artinya apa-apa. Dia lebih percaya pada kepastian dan sistem yang lebih terukur dibanding omong kosong soal bakat. Dia menempa dirinya dengan keras. Sangat keras bahkan. Dan dia membuktikan diri, lewat kerja keras dan disiplinnya yang luarbiasa, menatahkan diri sebagai bintang. Namanya juga akan abadi di dunia sepakbola sebagai legenda.
Besok dinihari, Roma akan menghadapi Madrid. Saya tidak bisa memberikan ulasan strategi-taktik karena jujur saja sudah lama tak menonton Madrid. Tidak memperhatikannya. Bagi saya, Madrid ya Ronaldo dan Bale. Kabar menyatakan bahwa Bale tidak bisa bermain karena cedera. Tapi saya bukan tipe orang yang mensyukuri lawan yang sedang cedera. Itu sikap yang aneh bagi saya. Lawan dalam sebuah kompetisi ya dihadapi. Bukan didoakan supaya celaka.
Karena saya hanya tahu sedikit soal Madrid berikut pergerakan mereka dalam permainan lapangan hijau, maka yang jadi persoalan adalah Ronaldo. Benzema? Mmm… Saya tak suka katakter bermain Benzema. Dia semacam Inzaghi tapi minus sering menjatuhkan diri dan ofset. Justru karena itu Inzaghi lebih keren dibanding Benzema.
Saya hanya berharap Spalletti justru tidak memainkan Dzeko maupun Totti, kecuali sebagai pemain pengganti. Menghadapi fisik, postur, dan kecepatan khas Madrid, maka Roma perlu menaruh pemain-pemain dengan daya duel dan fisik yang kuat di tengah. Dan dalam hal itu, Roma punya persoalan.
Sejujurnya Roma hanya punya dua orang dengan karakter seperti itu di tengah: Nainggolan dan Strootman. Nama terakhir jelas tidak masuk karena dibekap cedera panjang. Pjanic memang hebat. Umpan dan terobosannya, terlebih tendangan bola matinya, adalah salah satu yang terbaik di dunia saat ini. Tapi dia bukan petarung yang gigih dengan fisik yang kuat.
Sementara Florenzi punya kegigihan dan stamina, tapi dia punya emosi yang kerap tak stabil. Begitu kehilangan bola, kadang seperti orang patah hati. Terus cuma diam. Kadang memang dia brengsek.
Ini persoalan besar Spalletti. Jadi bukan di soal kualitas para pemain yang dimilikinya. Dengan punya sederet pemain seperti Digne, Rudiger, Florenzi, Nainggolan, El Shaarawy, Perotti, dan Salah, dia nyaris punya skuat yang kuat.
Kalau menurut saya, Spaletti sebaiknya memainkan pola: 3-4-2-1, dengan menempatkan Perotti dan El Shaa persis di belakang Salah. Dua pemain itu cukup kuat dan cepat untuk naik dan turun. Dengan demikian, bisa membantu Nainggolan memimpin pertarungan di lini tengah.
Tapi apapun yang akan dilakukan oleh Spalletti, pertandingan dinihari nanti layak untuk dinikmati dan dijadikan taruhan kecil-kecilan. Bertaruh rokok atau makan, adalah hal yang menyenangkan. Hanya satu saja yang tidak begitu menyenangkan: pertandingan dihelat jam 02.45 waktu Yogya.
Tapi untuk sebuah pertandingan Roma kontra Madrid, rasanya tetap tak mengapa.