Kawan saya, seorang alim, mengeluh. Istrinya tiba-tiba menegur saat dia mau melakukan salat. Seorang laki-laki, kata istrinya, tidak boleh salat di rumah, harus di masjid.
Kawan saya langsung syok. Dia tidak pernah mengira akan ditegur seperti itu. Tapi karena bekal ilmu agamanya sangat baik, dia meladeni teguran istrinya dengan kokoh. Kali itu istrinya “kalah”. Tapi bukan kejadian tersebut yang mengganggunya, melainkan bagaimana istrinya bisa punya “pengetahuan” agama yang mengkhawatirkan semacam itu?
Akhirnya, suatu pagi, kawan saya mengantar istrinya ke majelis pengajian yang rutin diikuti Sang Istri. Di pengajian yang dihadiri ribuan orang dan rata-rata diikuti para perempuan, kawan saya makin syok.
“Ustadnya mantan seorang artis. Dengan kemampuan retorikanya, juga didukung oleh pengeras suara dan layar visual, dia tampil memukau. Dia salahkan banyak hal, dia haramkan banyak hal yang masih bisa diperdebatkan. Membalas salam kalau salah sedikit, berarti temannya setan. Gila. Semua peserta dibilang goblok, tolol, bodoh. Tapi mereka diam…
Coba kamu bayangkan, peserta yang datang kan sudah meluangkan waktu. Mereka juga mengeluarkan uang untuk membeli buku dan cd ustad tersebut. Sudah begitu masih ditolol-tololkan, dibodoh-bodohkan, dan mereka diam. Mereka mau saja dibilang bodoh dan tolol. Padahal mereka perempuan-perempuan terpelajar. Lalu pulang-pulang, para istri ini gantian membodoh-bodohkan suami mereka, membodoh-bodohkan anak-anak mereka, membodoh-bodohkan tetangga-tetangga mereka. Astaghfirullah…”
Tampaknya teman saya benar-benar syok. Tapi setidaknya dia masih beruntung karena bekal keilmuannya bisa menjadi benteng bagi keluarganya. Kini dia rajin diskusi dengan istrinya tentang berbagai hal keagamaan. Dia menyadari ada yang tengah mengancam banyak keluarga di Indonesia lewat majelis semacam itu. Kini dia makin waspada.
Tapi bagaimana dengan nasib orang-orang yang lain?