Satu persatu orang datang kepadanya, menyatakan empati dan berbela sungkawa. Sebagian dari mereka sudah menduga hal ini akan terjadi.
“Aku tidak begitu mengenalnya,” kata laki-laki itu pelan. Wajahnya murung. Dukanya teramat dalam. Dia sebetulnya sudah tak lagi punya banyak kata untuk menyatakan kekecewaannya. Juga cobaan yang dihadapinya.
Satu persatu orang datang kepadanya, memberikan dukungan dan semangat. Mereka yakin penipunya akan segera mendapatkan hukuman dari langit.
“Memang terlalu sederhana kalau dia hanya dibilang penipu. Dia juga seorang pengkhianat. Orang tak tahu terimakasih. Orang tak tahu budi. Semoga tanah segera memakannya!” ujar seorang tamu.
“Dia memang sahabatku, aku tak menduga dia akan tega melakukan hal ini kepadamu. Tapi memang sudah lama aku merasa, dia mengidap sejenis penyakit jiwa. Akhirnya memang terbukti. Sayang sekali, mestinya aku bisa membantumu lebih dari sekadar ucapan macam begini.” Lalu usai mengucapkan kalimat-kalimat itu, dia bangkit dari duduknya, memeluk laki-laki yang sedang kecewa di hadapannya.
“Sebetulnya aku tak begitu mengenalnya. Tapi aku pikir dia sudah mulai menghancurkan dirinya sendiri. Ini persoalan mental. Tapi setidaknya aku segera sadar bahwa setiap kali dia bicara atau menulis persoalan rakyat atau bangsa, itu hanya petualangan intelektual belaka. Bukan sesuatu yang tumbuh dari hatinya. Tidak ada yang bisa diharapkan dari orang yang merusak kepercayaan orang lain.” Laki-laki agak tambun itu hanya bergumam tanpa beranjak dari kursinya. Sepasang matanya berlinang.
Laki-laki yang kecewa itu menoleh ke arah jendela. Di luar, mendung menggantung. Seekor burung kecil melintas. Beberapa helai daun mangga jatuh. “Kalian tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang kamu percaya, oleh orang yang kamu tolong, oleh orang yang kepadanya kamu tak pernah punya pikiran buruk sebutir debu pun? Bagaimana rasanya menolong orang yang tak begitu kamu kenal, dan dia menikammu dengan kelakuan buruk macam itu?”
Belasan orang yang meriung itu menggelengkan kepala dengan cara masing-masing.
“Rasanya aku ingin sekali membentur-benturkan kepalanya di tiang listrik. Atau menyeretnya keliling kota ini.” Suara yang baru saja terdengar berasal dari seorang laki-laki berkumis tipis dengan tatapan mata yang sangat tajam.
“Kenapa kamu tidak membuat pengumuman saja di koran, Facebook, Twitter? Supaya jangan ada lagi jatuh korban. Supaya semua orang tahu kelakuan bedebah itu?” ucap laki-laki dengan uban yang hampir merata di kepalanya, yang tak pernah berhenti merokok.
“Laporkan saja ke polisi. Jelas itu penipuan. Masukkan saja dia di penjara. Biar keluarganya malu. Aku kenal dia. Tapi semenjak kejadian ini, aku tak mau lagi mengenalnya.” Suara itu berasal dari satu-satunya orang yang berdiri. Dia memang tidak betah duduk berlama-lama.
Lalu seorang laki-laki pendek dan gempal yang sedari tadi lebih banyak diam dan duduk di dekat dapur, bangkit dan melewati beberapa laki-laki lain, mendekati laki-laki yang sedang kecewa, kemudian berbisik, “Aku sahabatmu. Kamu banyak menolongku. Aku dan banyak orang tidak akan terima perlakuan bajingan itu kepadamu. Dengan atau tanpa restumu, aku akan melakukan sesuatu yang setimpal kepadanya.”
Laki-laki yang sedang kecewa itu hanya mengerjapkan mata pelan. Kini sepasang matanya beralih ke pintu. Seekor kucing melintas. Tiba-tiba dia mengedarkan pandangan dan bertanya, “Kalian sudah pada makan? Kalau belum, biar Kahar membelikan kita sate…”
Orang-orang yang mengelilingi laki-laki itu sehingga ruang tamunya hampir penuh dan beberapa terpaksa duduk di ruang makan dan di dapur, semua hanya terdiam. Tak menduga justru dalam keadaan seperti itu, kesedihan seperti itu, laki-laki itu malah menawari makan.
Kahar yang duduk di dekat laki-laki itu bangkit. Menuju ke garasi. Kemudian terdengar suara mesin mobil dihidupkan. Seiring dengan kepergian mobil itu melewati pagar, gerimis turun.
“Jaiz, minta tolong…” laki-laki yang kecewa itu memberi kode dengan tangannya. Orang yang bernama Jaiz bangkit mendekati jendela dan membukanya. Lalu dia membuka jendela satu lagi. Gerimis mulai menjadi hujan. Udara masuk ke dalam ruangan dengan membawa bau hujan yang segar.
“Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa menjalani hidup selanjutnya. Semua orang kini tahu dia penipu, pembohong, dan pengkhianat. Kawan-kawan dekatnya pun pasti tahu, dan aku tak bisa membayangkan bagaimana setiap orang yang sedang berdekatan dengannya membatin: O ini si bajingan itu…”
Tapi sebelum kalimat itu berlanjut, seseorang menukasnya, “Hidupnya pasti lebih mirip seperti anjing penyakitan. Siapa saja bakal merasa jijik.”
“Aku kira dia lebih hina dari anjing seperti itu…” suara dari arah dapur terdengar.
Semua orang kemudian mengangguk dengan cara masing-masing.
“Orang-orang kampus dan junior-juniornya pasti juga berpikir alangkah busuk hatinya.”
“Pasti.” ujar beberapa dari mereka serempak.
Tiba-tiba salah satu telepon berdering. Seseorang mengangkat telepon sambil memberi tanda dengan mukanya, meminta maaf telah mengganggu.
“Kahar meminta bantuan untuk membawa satenya.” Orang tersebut lalu berdiri dan berjalan menuju pintu. Salah satu di antara mereka lalu ikut menyusul sambil bilang, “Aku ikut bantu bawa…”
Tak lama kemudian suara mobil terdengar lagi. Ketika mobil itu pergi, gema suaranya seperti tertinggal di ruangan itu, dan membuat beberapa orang tampak tegang.
Gerimis reda. Lampu-lampu di ruangan itu mulai menyala. Suara azan Magrib terdengar. Beberapa orang kemudian melakukan salat berjamaah di musala kecil di rumah itu.
Beberapa orang terlihat menata meja makan.
Laki-laki yang kecewa itu berjalan pelan menuju teras. Dia menyandarkan tubuhnya di salah satu tiang yang menyangga teras. Setelah menghabiskan sebatang rokok, dia masuk ke dalam rumah lagi.
Tidak lama kemudian dua mobil terdengar. Kahar dan dua orang masuk, lalu menyerahkan bungkusan-bungkusan besar. Ketiganya tampak kotor, lalu mereka menuju ke belakang, mandi. Seseorang menyiapkan baju untuk ketiga orang itu.
Beberapa orang kemudian sibuk menata bungkusan makanan. Belasan ikan bakar dan sup-sup ikan mengeluarkan aroma yang membuat perut kebanyakan orang di rumah itu tersambar lapar. Ketika Kahar dan dua orang yang lain usai mandi, mereka segera mengepung meja makan. Sebagian berdiri karena keterbatasan ruang.
Orang-orang seperti menunggu. Laki-laki yang kecewa itu melangkah mendekati meja makan. Suasana hening. Dia mengambil piring, mencentong nasi, dan menumpanginya dengan ikan bakar, kemudian mengguyur ikan bakar itu dengan sambal. Lalu diambilnya mangkuk sup, diisinya dengan kuah penuh rempah.
Laki-laki yang kecewa itu mendekati Kahar. “Kau bakar satenya dengan matang?”
Kahar menoleh ke arah kedua orang yang menyusulnya. Ketiganya mengangguk puas. Orang-orang di ruangan itu terlihat gembira, dan kemudian saling berpelukan.
Mereka makan malam dengan lahap. Tanpa banyak bicara. Hanya saling berbagi tawa dan senyum bahagia.
#BelajarMenulisCerpen