Tiga mantan aktivis ‘98, yang ikut turun ke jalanan, kecapekan setelah kena sentor lagi water cannon dan pedih gas airmata. Mereka pun agak menjauh, sambil duduk-duduk di pinggir jalan. Merokok. Ngobrol tapi tetap waspada. Dengan suara latar lemparan batu dan teriakan.
Anak eks-LMND yang sekarang bekerja di sebuah bank berkata, “Apes banget hidupku ini.”
Dua temannya menoleh. “Nape lu?”
“Hidup sekali, kelahi sama Wiranto dua kali.”
Mereka bertiga terkekeh.
“Lah, gua lebih kaco…” kata anak eks-Forkot yang jadi gitaris sebuah band.
“Kenapa?”
“Dulu nyambit polisi ama Adian, sekarang tiba-tiba berhadapan sama dia.”
Mereka saling mengangkat bahu. Seperti mau bilang, ya beginilah hidup.
“Kalau besok tembus,” ujar yang satunya lagi, maksud ‘tembus’ adalah mahasiswa berhasil menjebol gedung DPR, “meja Fadli Zon yang gua cari pertama kali.” Kali ini yang ngomong anak eks-KBUI yang jadi dosen.
“Kamu kenal?” tanya anak eks-Forkot.
“Gak.”
“Kakak angkatanmu?”
“Gak juga. Dia Sastra Rusia, aku kan Ekonomi.
“Lah terus ngapain kamu mau nyari ruangannya?” lanjut si penanya penasaran.
“Gak, mau kuberakin saja mejanya.”
Tiba-tiba suara letusan terdengar agak keras. Barisan mahasiswa lari mundur. Mereka ikut lari. Tapi hanya sekian langkah saja. Karena barisan mahasiswa sudah balik lagi.
“Jangan lari lah, malu sama mahasiswa.” Akhirnya mereka bertiga balik, jalan kaki pelan menuju gedung DPR.
“Iya, ya. Kenapa Jokowi goblok sekali.” anak eks-Forkot mengguyur mukanya dengan air mineral yang diulungkan seorang tukang ojek. “Muka Wiranto nongol melulu di tv. Bener kamu bilang, hidup sekali, berhadapan sama Wiranto dua kali. Apes banget hidup ini. Ya tapi mau gimana lagi…”
Mereka tertawa tipis. Antara sedih dan geli. Tiba-tiba salah satu nyeletuk, “Kita cari anak eks-KAMMI yuk. Ada yang kalian kenal gak? Teleponlah?”
“Ngapain?” serempak mereka berdua bertanya.
“Kita tanya, apa yang mau dia lakukan kalau ketemu Fahri Hamzah.”
“Yang jelas gak mungkin ditantang berdebat.”
“Kenapa?”
“Pasti menang Fahri, lah!”
Mereka bertiga tertawa ngakak.