Seandainya tidak punya banyak teman dan mengalami banyak cerita, semasa kuliah hanyalah waktu yang menyita usia produktif saya.
Markus dan Munthu adalah adik kelas saya. Tentu saja sebagaimana Unggun dan Kardono, mereka berdua jenaka. Sebuah kampus yang tidak berisi orang-orang lucu, pasti hanya jadi semacam laboratorium dehumanisasi atau tempat ibadah minus spiritualitas. Robotik, menjemukan, dan menjengkelkan.
Suatu malam, hampir sama di malam-malam yang biasanya berlalu di era itu, Markus dan Munthu sedang lumayan teler karena miras. Dalam kehidupan biasa dan sadar, Markus adalah sosok pendiam, ramah, dan suka membantu. Munthu juga nyaris begitu. Kalau sudah agak teler, sebagaimana banyak orang lain, mereka berdua lebih banyak bertingkah dan makin kritis dalam berpikir. Mereka memikirkan apa saja, termasuk bentuk-bentuk daun dan bebatuan.
“Kus, kamu kenapa sih kok gak punya tato?” tanya Munthu sambil sepasang matanya merem-melek, sesekali mengisap rokok, dan sandaran di tembok salah satu bagian di kampus.
Belum sempat Markus menjawab, Munthu melanjutkan, “Punya tato itu asyik lho… Kulit kita ada warnanya.”
Markus kelihatan berpikir keras. Juga sambil merem-melek. Tubuhnya terayun ke belakang dan depan karena tidak senderan. “Aku mau nyoba. Tapi yang temporer dulu ya… Kamu bisa menato kan, Thu?”
Munthu memang seorang artis tato. Dia suka membantu teman-temannya menato badan mereka. Sesama kawan tak perlu membayar mahal. Cukup minuman beralkohol dan sebungkus dua bungkus rokok.
Markus dan Munthu bangkit. Mereka menuju sebuah ruang kegiatan mahasiswa, tempat Munthu menyimpan alat tatonya. Tidak lama kemudian, keduanya asyik sendiri. Munthu fokus mengalahkan rasa mabuknya dengan menato. Markus menikmati mabuknya.
Setelah lebih dari 30 menit, tiba-tiba Markus bertanya, “Thu, kok sakit ya?”
“Ditato ya memang agak sakit. Tapi ya gak sakit banget, Kuuus…”
“Tapi kan ini tato temporer. Masak sakit sih?”
“Lho, temporer?”
Keduanya sama-sama kaget. Markus memandang Munthu. Munthu memandang Markus. Keduanya saling berpandangan.
“Lho, Thuuuu, kan aku bilang tato temporer! Ini tato beneran?”
“Iya, ini tato beneran. Aku gak dengar kalau kamu meminta tato temporer. Lha kalau tato temporer ngapain kamu minta aku menato? Aku kan menato beneran?”
“Wah…” Markus berusaha melihat ke lengan kanannya yang ditato. “Ini gambar apa, Thu?”
“Burung Garuda Pancasila.”
“Kamu ngapain menato aku dengan gambar burung garuda?”
“Gak tahu. Tiba-tiba teringat gambar itu. Tapi itu belum selesai. Belum ada bulunya… Sini tak terusin.”
“Lho jangaaan! Udah gini saja!”
“Lho belum selesai itu…”
“Gak apa-apa! Aku kan minta tato temporer, Thuuuu!”
“Lain kali kalau kamu minta tato temporer, jangan minta aku…”
Akhirnya mereka capek berdebat dan kalah dalam mengatasi rasa teler. Mereka berdua tertidur.
Sampai kini, Markus masih bertato burung garuda brindil alias tanpa bulu…