Semalam, saya mendapat berkah ditemui tamu agung: Mas Bonari Nabonenar. Malam yang menakjubkan.
Saya lebih dulu menulis karya dalam bahasa Jawa jauh hari sebelum saya berkarya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Geguritan saya pertama kali kapacak oleh kalawarti Jaya Baya saat saya kelas 3 SMP.
Sebagai guru, kedua orangtua saya wajib berlangganan surat kabar Suara Karya, tapi saya justru jatuh cinta kepada Jaya Baya dan Penyebar Semangat. Keluarga saya berlangganan Jaya Baya, dan tetangga persis di depan rumah saya berlangganan Penyebar Semangat. Kami bertukar kedua majalah berbahasa Jawa itu jika sudah usai dibaca oleh masing-masing anggota keluarga.
Maka nama-nama pengarang di Indonesia yang pertama kali saya kagumi justru nama-nama pengarang yang menulis dalam bahasa Jawa: Suryanto Sastroatmojo (alm), Piek Arjianto Supriadi (alm), Suparto Broto (alm), Suripan Sadi Hutomo (alm), Jayus Pete, Turiyo Ragil Putro, Triman Laksono, dan banyak lagi yang lain, termasuk Mas Bonari Nabonenar.
Waktu saya kelas 1 SMA, saya pernah menerima surat dari Prof. Suripan Sadi Hutomo, yang inti surasanya adalah mengapresiasi karya-karya saya, dan beliau meminta bertemu. Sayang, waktu itu saya tak terlalu peduli dengan ihwal dan adab berkomunikasi. Saya menyesal, sampai akhir hayat beliau, tak pernah memenuhi undangan tersebut. Dari kisah Mas Bonari semalam, memang Prof Suripan dikenal sebagai pendukung dan penyemangat anak-anak muda yang menulis dalam bahasa Jawa.
Tapi umur kreativitas saya dalam sastra Jawa hanya pendek. Semester satu saat kuliah, saya memutuskan berhenti menulis karya sastra, baik dalam bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Kelak tahun 1999, saya kembali menulis karya sastra tapi sudah sepenuhnya dalam bahasa Indonesia.
Jadi sebetulnya, saya belajar banyak dalam soal menulis justru dari para pengarang bahasa Jawa. Saya membaca karya-karya mereka jauh hari sebelum saya membaca karya-karya Romo Mangun, Umar Kayam, Emha Ainun Nadjib, Ahmad Tohari dll, yang saya baca dari perpustakaan pribadi almarhum guru saya Pak Kartawi, waktu SMP. Kisah tentang Pak Kartawi ini beberapa kali saya tulis walaupun sepenggal-sepenggal, tokoh yang kemarin dibuat menjadi status Facebook Pak Tedjo Bayu.
Sekira 6 jam saya berbincang dengan Mas Bonari. Termasuk menanyakan soal “Revitalisasi Sastra Pedalaman”. Polemik sastra di Indonesia selalu dimulai dari STA vs AP, Manikebu vs Lekra, Sastra Kontekstual, tapi ada satu yang menurut saya penting tapi sering dilupakan yakni wacana RSP ini. Sayang saat polemik ini muncul, saya baru kelas 1 SMA. Tak banyak yang saya pahami karena keterbatasan akal dan pengetahuan saya.
Sungguh semalam saya dibawa kembali ke masa remaja. Saat menikmati cerkak-cerkak yang luarbiasa dari para sastrawan berbahasa Jawa, juga geguritan-geguritan yang menawan.
Saya berharap dalam waktu dekat bisa membalas kunjungan silaturahmi Mas Bonari ke Trenggalek, dan sowan ke para pinisepuh sastra Jawa di berbagai tempat, yang kepada mereka semua, saya berhutang pengetahuan.