Beberapa hari lalu, saya iseng bertanya kepada para penjual buku onlen yang saya kenal untuk mengatahui bagaimana dinamika bisnis mereka dalam situasi pandemi corona. Sebagian besar turun. Sebagian lain masih bisa mempertahankan kestabilan angka penjualan. Tapi ada satu toko buku onlen yang naik dua kali lipat. Namanya, Warung Sastra. Saya memutuskan untuk mengajak ngopi salah satu pemilik bisnis ini. Siapa tahu kisah ini menarik hati, dan bisa menjadi doping tentatif di masa pagebluk plus paceklik ini.
Para insan buku, terutama yang tinggal di Yogya, banyak yang tahu kalau Warung Sastra digerakkan oleh dua anak muda: Bagus dan Andre. Bagus kuliah di Sastra Prancis UGM. Sudah lulus. Dan kini sedang mengenyam pendidikan S2 di Prancis. Sementara Andre kuliah di UNY, mengambil pendidikan luar sekolah, terutama untuk anak berkebutuhan khusus. Belum lulus. Mungkin karena sudah merasakan enaknya jualan buku.
Kisah ini sebagaimana kebanyakan kisah para penjual buku onlen sukses di Yogya, selalu dimulai dari kisah hidup yang tidak enak. Tapi kisah Bagus dan Andre, menurut saya, adalah kisah yang lebih tidak enak dari yang pernah saya dengar.
Mereka berdua berteman karena berasa dalam satu kos yang sama. Bukan kos mahal. Sewa kos perbulan mereka di tahun 2013 seharga 350.000 rupiah. Untuk bisa lebih terjangkau, setiap kamar diisi dua orang. Mereka berdua, teman satu kamar. Bagus berasal dari Wonosobo, Andre berasal dari Cilacap. Mereka berdua bisa kuliah di Yogya karena mendapat beasiswa. Tapi beasiswa itu hanya bisa untuk membayar kuliah, membeli buku, dan menyewa kos. Sementara untuk hidup sehari-hari, mereka harus bekerja. Bagus bekerja serabutan, mulai dari menjadi penjaga toko kamera sampai jadi penjaga penginapan. Sedangkan Andre lebih variarif lagi, mulai dari berjaga warnet, tukang bersih-bersih, sampai mengajar di sebuah SD inklusif yang membutuhkan guru dengan spesifikasi mengajar anak berkebutuhan khusus.
Keduanya dengan cepat menjadi sahabat walaupun berbeda kesukaan. Bagus seorang kutu buku dengan nilai akademik yang tinggi. Sedangkan Andre, lebih sibuk mencari uang hingga lelah. Sisa-sisa energinya hanya dipakai untuk tidur. Andre masih mengingat masa sulit itu. “Pernah uang saya tinggal 20.000 rupiah, Bagus pas lagi gak punya uang. Akhirnya, uang itu kami bagi dua untuk hidup seminggu. Kami makan nasi kucing dekat kos-kosan setiap malam. Sehari makan sekali.”
Tapi bagi mereka berdua, itu bukan penderitaan. “Kami merasa tidak menderita sih, lha kami memang bukan dari keluarga berada.”
Bagus kemudian punya inisiatif untuk membuka bisnis menjual buku onlen. Tanpa modal. Modalnya hanya hape murahan yang ada kameranya. Setiap hari dia pergi ke toko buku, memotret judul-judul buku, lalu mengunggah di media sosial. Kalau laku, dia balik lagi ke toko buku itu untuk membeli buku tersebut. Sebetulnya cara ini dilakukan oleh hampir sebagian penjual buku onlen di Yogya. Bisnis toko buku onlen itu tidak berjalan dengan baik. Maklum, hanya dikerjakan dengan tenaga tersisa. Dari situ, kadang Andre membantu membungkusi buku. Hingga tiba saatnya, Bagus ikut sebuah proyek pendampingan masyarakat di Subang. Di titik itulah, dia memasrahkan pengelolaan Warung Sastra kepada Andre.
Mulailah Andre melakukan hal yang tidak pernah dia lakukan. Dia tidak tahu buku, tidak akrab dengan dunia media sosial, tidak tahu cara melayani konsumen, tidak mengerti pembukuan keuangan, dan seabrek hal lain.
“Tapi Bagus itu orangnya sabar, dia ngajari saya. Saya yang orangnya males-malesan karena sudah capek kerja, diajari untuk tidak galak dengan konsumen. Tiga bulan saya pegang Warung Sastra, penjualan menurun drastis. Di situ saya belajar banyak, terutama motret buku yang bener, ngelola medsos yang baik, dan yang paling penting harus sabar melayani pembeli buku yang kadang cerewet.”
Dengan kesabaran Bagus menuntun Andre, tiba saatnya Warung Sastra mendapat omzet 6 juta rupiah dalam sebulan. Dan di titik itu pula, mendadak Andre punya keyakinan bisa hidup dari jualan buku lewat onlen. Dia pun meninggalkan semua pekerjaannya, menyeriusi bisnisnya.
Ketika Bagus selesai ikut proyek pendampingan masyarakat, dia balik ke Yogya dan bersiap pergi ke Prancis. Waktu tiga-empat bulan bersama Andre, dimaksimalkan untuk menggenjot performa Warung Sastra. Penjualan mulai naik. Andre pun mulai diajari membaca buku. “Jualan buku itu harus membaca buku, Ndre.” Buku pertama yang dikhatamkan Andre adalah ‘Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya’ karya Rusdi Mathari. Kebetulan selain enak dibaca, buku itu termasuk buku laris di Warung Sastra. Buku kedua yang tuntas dibaca adala ‘Para Bajingan yang Menyenangkan’, yang kebetulan juga buku laris di Warung Sastra.
Bagus akhirnya pergi ke Prancis, tapi Andre sudah tumbuh menjadi seorang pebisnis yang percaya diri, dengan brand Warung Sastra yang terus membesar, dan omzet yang terus naik. Bagi penerbit di Yogya, Warung Sastra memang menjadi salah satu penjual yang diandalkan selain Berdikari Books, Buku Akik, Mojok Store, dan Nasution Books. Mulailah di situ Andre bisa membeli sepeda motor. “Saya kuat membeli sepeda motor seken baru tahun 2019 bulan Agustus. Saya bisa beli laptop juga baru tahun ini.” Ujar Andre sambil terkekeh.
Kini Warung Sastra sudah bisa mengontrak rumah sendiri. Omzetnya sudah naik hampir 20 kali lipat dari ketika Andre merasa bisnis jualan buku onlen bisa menjanjikan. Setiap hari, Andre masih video-call-an dengan Bagus. Belum lama ini, Bagus nggojloki Andre ketika mereka berdua ingat uang 20.000 yang dibagi dua beberapa tahun lalu. “Piye, Ndre. Duitmu cukup nggo mangan pirang minggu saiki?”
Andre menjawab dengan ngakak, “Lha nek saiki isa nggo mangan setahun, Bro! Nek tabunganmu seka buku isa nggo ngapa, Gus?”
“Isa tak nggo depe omah suk nek aku wis mulih Yogya, Ndre!”
“Mbok nggo rabi ya isa, Gus!” Andre tentu saja bukan sok tahu, karena dia yang memegang uang tabungan Bagus selama sahabatnya itu belajar di luar negeri.
“Ndre, skripsimu dirampungke!” Kalau sudah digojloki soal itu, Andre hanya diam. Sebetulnya Andre sudah siap menikah, tapi calon mertuanya menginginkan dia menyelesaikan kuliahnya dulu. Toh tinggal skripsi.
Pulang dari belajar di luar negeri nanti, Bagus ingin kembali konsentrasi mengelola dan membesarkan Warung Sastra. Mereka berdua punya visi yang jelas atas bisnis mereka. Mereka yakin bisa hidup dari jualan buku. “Yang pengting dalam hidup ini tidak aneh-aneh, Insyaalllah bisnis kami bisa tumbuh.”
Mereka suka buku. Mereka berjualan buku. Mereka berdua menikmati berbisnis buka dengan segala dinamikanya. Itu sudah membahagiakan mereka.
Semalam, Andre ditelepon kepala jurusannya. Awalnya beliau bertanya soal bisnis bukunya. Mereka berdua ngobrol hangat layaknya bapak dan anak. “Ngene, Le… Nek bisnismu wis apik, skripsimu aja lali. Mungkin ijasahmu sekarang tidak berguna buat kamu. Tapi setidaknya bisa membuat bahagia bapak dan ibumu.”
Andre langsung terdiam. Dan makin terdiam ketika menyadari, ibunya tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Memang sejak punya kontraka baru, Andre memboyong ibu dan kedua adiknya ke Yogya. Sebagai anak pertama, dia merasa punya tanggungjawab moral dan ekonomi untuk membiayai keluarganya. Sementara bapaknya mesti hijrah ke Bandung menjadi sopir ojol.
Andre tinggal punya kesempatan semester ini untuk menyelesaikan skripsinya. Sebagai kawan, saya berharap dia bisa menyelesaikannya. Bagi banyak orang, seperti saya atau Andre, skripsi sudah bukan persoalan eksistensi. Kadang itu hanya soal pentingnya berbakti.